Rabu, 06 April 2016

SEBUAH PENGANTAR FILSAFAT ILMU HUBUNGAN ANTARA MANUSIA, ILMU PENGETAHUAN DAN KEBENARAN

I.      PENDAHULUAN
Banyak  yang berpendapat bahwa belajar filsafat itu sulit atau susah karena filsafat dianalogikan pada suatu perenungan yang tidak ada ujungnya. Namun jika ditilik lebih mendalam filsafat boleh dikatakan sebagai mater scientiarum, yakni induk semua ilmu pengetahuan. Setiap orang yang ingin belajar pengertian hidup dan kehidupan harus mengetahui ilmu filsafat, sebab berfilsafat tidak lain adalah hidup berpikir dan pemikiran sedalam-dalamnya tentang hidup dan kehidupan itu (living thought and toughtfull living).
Pada awalnya cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan ilmu, ilmu hanya terbatas pada persoalan empiris saja, sedangkan filsafat mencangkup objek empiris dan non-empiris. Namun pada perkembangannya, filsafat berkembang menjadi bagian dari ilmu itu sendiri (terspelisiasi), sperti filsafat agama, filsafat hukum dan filsafat ilmu. Alasannya, filsafat tidak bisa terus berada di awang-awang, tetapi ia juga harus membimbing ilmu.
Pada kesempatan ini maka pemakalah akan mengulas sedikit tentang filosofi manusia, ilmu pengetahuan dan hubungan antara manusia dengan ilmu pengetahuan pada masa dulu dan sekarang, yang merupakan sebuah pengantar dasar filsafat ilmu.

 II.      RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Filosofi Manusia?
B.  Seperti apa Ilmu Pengetahuan itu?
C.  Seperti apa Teori-teori kebenaran dalam filsafat?
D. Bagaimana Hubungan Antara Manusia, Ilmu pengetahuan dan kebenaran? 

 III.      PEMBAHASAN
A.    Filosofi Manusia
Filosofi manusia terdiri dari dua kata yaitu filosofi dan manusia. Filosofi secara etimologi istilah filosofi atau filsafat merupakan padanan kata falsafah (bahasa Arab) dan philosophy (bahasa Inggris), yang berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata, philos dan sophia. Kata philos berarti cinta (love) atau sahabat, dan shopia berarti kebijaksanaan (wisdom), kearifan dan pengetahuan. Sehingga secara etimologi filsafat berarti “love of wisdom” atau cinta kebijaksanaan, cinta kearifan, cinta pengetahuan, atau sahabat kebijaksanaan, sahabat kearifan dan sahabat pengetahuan.[1] Sedangkan menurut terminologi terdapat beberapa definisi, antara lain:
a.             Aristoteles
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyabab dari realitas yang ada.
b.            Rene descartes
Filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan manusia.
c.             William james
Filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berfikir yang jelas dan terang.
d.            R.F. beerling
Filsafat adalah mempertanyakan tentang seluruh kenyataan atau tentang hakikat, asas, prinsip dan kenyataan. Beerling juga mengatakan bahwa filsafat adalah usaha untuk mencapai akar terdalam kenyataan dunia wujud, juga akar terdalam pengetahuan tentang diri sendiri.
e.          Louis O. Kattsoff
Filsafat merupakan suatu analisis secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran mengenai suatu masalah, dan penyusunan secara sengaja serta sistematis suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan.[2]
Dari serangkaian definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan  bahwa filolofi manusia adalah proses berfikir secara radikal, sistematik, dan universal terhadap manusia itu sendiri. Dengan kata lain filosofi manusia adalah berfikir secara radikal (mendasar, dalam, sampai keakar-akarnya tentang manusia), sistematik (teratur, runtut, logis, dan tidak serampangan) untuk mencapai kebenaran universal (umum, terintegral, dan tidak khusus tidak parsial).
Berbicara mengenai apa manusia itu, ada empat aliran yaitu aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran eksistensialisme.
Aliran serba zat mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat dari sesuatu. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu hakikat dari manusia itu adalah zat atau materi.
Manusia sebagai makhluk materi, maka pertumbuhannya berproses dari materi juga. Sel telur dari sang ibu bergabung dengan sperma dari sang ayah, tumbuh menjadi janin, yang akhirnya kedunia sebagai manusia. Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa, pikiran perasaan (tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, khayalan, asosiasi, penghayatan, dan sebagainya) dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh. Oleh karena itu manusia sebagai materi, maka keperluan-keperluannya juga bersifat materi, ia mendapatkan kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya juga dari materi, maka terbentuklah suatu sikap atau pandangan yang materialistis. Oleh karena materi itu adanya di dunia ini, maka pandangan materialistis itu identik dengan pandangan hidup yang bersifat duniawi, sedangkan hal-hal yang bersifat ukhrawi (akhirat) dianggap sebagai khayalan belaka.[3]
Di antara tokoh aliran ini adalah Anaximenes (585-525 SM), Anaximandros (610-545 SM), Thales (625-545 SM), Thomas Hobbes (1588-1679 M), Lamettrie (1709-1715 M), Feuerbach (1804-1877 M), Spencer (1820-1903 M), dan Karl Marx (1818-1883 M).[4]
Aliran serba ruh berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ialah “ruh”. Juga hakikat manusia adalah ruh. Adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh di dunia ini.
Ruh adalah sesuatu yang tidak menempati ruang, sehingga tak dapat disentuh atau dilihat oleh panca indra. Jadi berlawanan dengan zat yang menempati ruang betapapun kecilnya zat itu.
Istilah-istilah lain dari ruh yang artinya hampir sama ialah jiwa, sukma, nyawa, semangat dan sebagainya. Materi adalah penjelmaan ruh. Fichte berkata “bahwa segala sesuatu yang lain (selain dari ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis, perupaan, perubahan atau penjelmaan dari pada ruh”.
Dasar pikiran dari aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya dari pada materi. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dalam kehidupan sehari-hari.misalnya seorang wanita atau seorang pria yang kita cintai, kita tak mau pisah dengannya. Tetapi kalau ruh dari wanita atau pria yang kita cintai tadi tidak ada pada badannya, berarti dia meninggal dunia, mau tidak mau kita harus melepaskan dia untuk dikuburkan. Kecantikan, kejelitaan, kemolekan, kebagusan yang dimiliki oleh wanita atau pria tadi tak akan ada artinya tanpa ruh meskipun badannya masih utuh, masih lengkap anggota badannya, tetapi kita mengatakan “dia sudah tidak ada, dia sudah pergi, dia sudah menghadap tuhannya”. Demikian aliran ini menganggap bahwa ruh itu ialah hakikat, sedang badan adalah penjelmaan atau bayangannya saja.
Aliran dualisme mencoba untuk mengawinkan kedua aliran tersebut di atas. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh, yang keduanya berintegrasi membentuk yang disebut manusia. Antara badan dan ruh terjalin hubungan yang bersifat kausal, sebab akibat. Artinya antara keduanya saling pengaruh mempengaruhi. Sebagai contoh, orang cacat jasmaninya akan berpengaruh pada perkembangan jiwanya. Sebaliknya orang yang jiwanya kacau atau cacat, akan berpengaruh pada fisiknya.[5]
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain adalah Plato (427-347 SM) Aristoteles (384-322 SM), Descartes (1596-1650 M), Fechner (1802-1887 M), Arnold Gealinex, Leukippos, Anaxagoras, Hc. Daugall dan A. Schopenhauer (1788-1860 M).[6]
Ahli-ahli filsafat modern dengan tekun berfikir lebih lanjut tentang hakikat manusia mana yang merupakan eksistensi atau wujud sesungguhnya dari manusia itu, mereka yang memikirkan bagaimana eksistensi manusia atau wujud disebut kaum eksistensialis dan alirannya disebut aliran eksistensialisme.[7]
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada. Karena memang sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah pohon mangga. Harimau adalah harimau. Manusia adalah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran tentang eksistensia. Dengan mencari  cara berada  dan eksis yang sesuai, esensia pun akan ikut terpengaruhi.
Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optimal. Untuk manusia, ini berarti bahwa dia tidak sekedar berada dan eksis, tetapi berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan kemungkinan yang dapat dicapai.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Immanuel Kant, Jean-Paul Sartre, S. Kierkegaard (1813-1855 M), Friedrich Niezsche (1844-1900 M), Karl Jaspers (1883-1969 M), Martin Heidegger (1889-1976 M), Gabriel Marcel (1889-1973 M), Ren Le Senne dan M. Merleau-Ponty (1908-1961 M).[8]
Penjelasan yang terbaik tentang hakikat manusia ialah penjelasan dari pencipta manusia itu sendiri. Penjelasan oleh rasio manusia mempunyai kelemahan karena akal itu terbatas kemampuannya. Bukti terbaik tentang keterbatasan akal ialah akal itu tidak mengetahui apa akal itu sebenarnya.
Berikut dijelaskan hakikat manusia menurut Al-Qur’an. Al-Qur’an  adalah kitab yang secara ilmiah terbukti memuat firman Tuhan dan masih asli.
Menurut Al-Qur’an manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Jadi, manusia itu berasal dan datang dari Tuhan. Bila ada argumen yang kuat untuk membuktikan bahwa manusia bukan ciptaan Tuhan dan argumen itu lebih kuat ketimbang argumen bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, maka yang akan kita ambil ialah pendapat yang mengatakan bahwa manusia bukan ciptaan Tuhan. Dan bila itu yang diambil maka harus juga dijelaskan bagaimana cara munculnya manusia itu. Kemungkinan ini (manusia bukan ciptaan Tuhan) sangat tidak mungkin.
Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia itu mempunyai unsur jasmani (material). Sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash: 77)
Di dalam surat al-A’raf ayat 31 Tuhan mengatakan bahwa makan dan minum bagi manusia adalah suatu keharusan. Ini suatu indikasi bahwa manusia itu memiliki unsur jasmani. Al-Syaibani mengutif tiga hadits Nabi Muhammad saw yang menerangkan bahwa manusia itu mempunyai aspek jasmani.[9]
Akal adalah salah satu aspek penting dalam hakikat manusia. Ini dijelaskan dalam banyak tempat di dalam  Al-Qur’an. Harun Nasution menjelaskan bahwa ada tujuh kata yang digunakan Al-Qur’an untuk mewakili konsep akal. Pertama adalah kata nazara, seperti di dalam surat Qaaf ayat 6-7, surat al-Thaariq ayat 5-7, al-Ghasiyah 17-20. Kedua kata tadabbara, seperti dalam surat Shaad ayat 29, surat Muhammad ayat 24. Ketiga kata tafakkara, seperti di dalam surat al-Nahl ayat 68-69, al-Jatsiyah ayat 12-13. Keempat kata faqiha, kelima kata tadzakkara, keenam kata fahima, dan ketujuh adalah kata ‘aqala. Kata-kata itu semua menunjukan bahwa Al-Qur’an mengakui akal adalah aspek penting dalam hakikat manusia.
Aspek lainnya ialah ruh atau ruhani. Penjelasan Al-Qur’an tentang aspek ini terdapat di dalam Al-Qur’an antara lain dalam surat al-Hijr ayat 29, dan surat Shaad ayat 72. Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa manusia memiliki ruh. Dan ruh adalah unsur hakiki pada manusia. Jadi hakikat manusia menurut Al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri atas unsur jasmani, akal, dan ruhani. ketiganya sama pentingnya untuk dikembangkan. Konsekuensinya, pendidikan harus didesain untuk mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia.[10]
B.           Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata yakni ilmu dan pengetahuan. Ilmu merupakan salah satu dari hasil usaha manusia untuk memperadab dirinya. [11] dalam Encyclopedia Americana, dijelaskan bahwa ilmu (science) adalah pengetahuan yang bersifat positif. The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The Principles of Scientific Research memberi batasan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.[12]
Sedangkan pengetahuan adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Dalam kamus filsafat  dijelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[13]
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan ini secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya (survival). Seekor kera tahu mana buah jambu yang enak. Seekor anak tikus tahu mana kucing yang ganas. Anak tikus ini tentu saja diajari induknya untuk sampai pada pengetahuan bahwa kucing itu berbahaya. Tetapi juga dalam hal ini, berbeda dengan tujuan pendidikan manusia, anak tikus hanya diajari hal-hal yang menyangkut kelangsungan hidupnya.
Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasai kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan, manusia memberi makna kepada kehidupan, manusia “memanusiakan” diri dalam hidupnya, dan masih banyak lagi pernyataan semacam ini. Semua itu pada hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya.ini lah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya, dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar.[14]
Penalaran merupakan suatu proses  berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Meskipun seperti yang dikatakan Pascal, hati pun mempunyai logika tersendiri. Meski demikian patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.
Pengetahuan juga dapat kita tinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan tersebut. Dalam hal wahyu dan intuisi, maka secara implisit kita mengakui bahwa wahyu (atau dalam hal ini Tuhan yang menyampaikan wahyu) dan intuisi adalah sumber pengetahuan. Dengan wahyu maka kita mendapatkan pengetahuan lewat keyakinan (kepercayaan) bahwa yang diwahyukan itu adalah benar demikian juga dengan intuisi, di mana kita percaya bahwa intuisi adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun kegiatan berpikir intiutif tidak mempunyai logika atau pola berpikir tertentu. Jadi dalam hal ini bukan saja kita berbicara mengenai pola penemuan kebenaran melainkan juga sudah mencakup materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran tertentu.[15]
Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yang amat penting dalam epistemologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentang terjadinya pengetahuan ini apakah berfilsafat apriori atau aposteriori. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman. Baik pengalaman indra maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan aposteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian, pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif.[16]
C.     Teori-teori kebenaran dalam filsafat

1. Teori Corespondence
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori korispodensi (corespondence theory of truth)  menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
1. Statemaent (pernyataan)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menuru corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.

2. Teori Consistency
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap reliable jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.
Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C
Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.

3. Teori Pragmatisme
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau medoe problem solving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.
Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya.
Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
1. Sesuai dengan keinginan dan tujuan
2. Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya adalha Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).
Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program solving.

4. Kebenaran Religius
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :

Agama sebagai teori kebenaran
Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebanran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebeanran, manusia dan mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran

D.    Hubungan Manusia, Ilmu Pengetahuan dan Kebenaran
Perbedaan antara situasi ilmu pengetahuan dulu dan sekarang tentu tidak terbatas pada kesatuan lebih besar yang menandai ilmu pengetahuan di masa lampau. Terdapat juga perbedaan-perbedaan lain. Antara lain cukup menyolok mata bahwa tempat yang diduduki ilmu pengetahuan dalam hidup sehari-hari dulu sama sekali berbeda, kalau dibandingkan dengan situasi modern sekarang. Dulu ilmu pengetahuan praktis tidak mempengaruhi hidup sehari-hari. Dan dianggap biasa saja, bila ilmu pengetahuan tidak mempunyai konsekuensi dalam hidup kemasyarakatan, karena maknanya sama sekali lain. Dalam konteks ini misalnya terdapat suatu perkataan Aristoteles yang cukup menarik “ umat manusia menjamin urusannya untuk hidup sehari-hari barulah dapat ia arahkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan”. Jadi, rupanya kegiatan ilmiah tidak bertujuan mempermudah urusan ini atau meningkatkan taraf hidup jasmani. Apalagi, pada waktu itu tidak mungkin orang berpikir mau meningkatkan taraf hidup, karena tingginya taraf hidup dianggap telah ditentukan oleh alam kodrat dan manusia tidak sanggup mengubah alam kodrat.[17] Pada ketika itu ilmu pengetahuan mempunyai tujuan yang sama sekali lain. Ilmu pengetahuan bertujuan memperingatkan manusia bahwa selain makhluk alamiah (makhluk yang tersimpul dalam tata susunan alam) ia masih merupakan suatu yang lain, yaitu makhluk yang mengetahui tentang dirinya dan dengan demikian juga dengan perbedaannya dengan alam. Ilmu pengetahuan bermaksud mendalami tentang diri manusia dan alam itu, supaya secara rohani manusia dapat sampai pada inti dirinya. Karena itu pula ilmu pengetahuan tidak “berguna”, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan tidak berusaha mencapai sesuatu yang lain. Ilmu pengetahuan itu dipraktekkan demi ilmu pengetahuan itu sendiri, karena hanya dengan dan ilmu pengetahuan manusia bisa menjadi manusia sungguh-sungguh, yaitu makhluk yang menyadari dirinya dan kedudukannya yang unik dalam kosmos.
Kini fungsi manusia dari ilmu pengetahuan telah berubah secara radikal. Barangkali masih ada sisa sedikit dari fungsi aslinya (harus kita selidiki lagi nanti), tetapi yang pasti ialah bahwa ilmu pengetahuan sekarang ini melayani kehidupan sehari-hari menurut segala aspeknya. Kegiatan ilmiah dewasa ini didasarkan pada dua keyakinan berikut ini:
1.   Segala sesuatu dalam realitas dapat diselidiki secara ilmiah, bukan saja untuk mengerti realitas dengan lebih baik, melainkan juga untuk menguasainya lebih mendalam menurut segala aspeknya.
2.   Semua aspek realitas membutuhkan juga penyelidikan seperti itu. Kebutuhan-kebutuhan yang paling primer, seperti air, makanan, udara, cahaya, kehangatan, tempat tinggal tidak akan cukup tanpa penyelidikan itu. Dan banyak hal lain dapat disebut lagi.
Tentu saja, dapat dikatakan juga bahwa kita sekarang ini berada dalam semacam gerak spiral: di satu pihak kita harus menggunakan ilmu pengetahuan untuk menjamin kebutuhan-kebutuhan kita yang paling elementer dan di lain pihak keharusan itu sebagian disebabkan karena kita telah mempengaruhi dan mengubah keadaan hidup kita yang natural. Kita sendiri telah menciptakan suatu situasi yang cukup ganjil. Lebih dahulu kita telah merusak lingkungan hidup yang natural (air, udara, tanah) dan kita harus membersihkan lagi lingkungan itu. Namun demikian, kita sepatutnya hati-hati dulu dan tidak terlanjur cepat melontarkan penilaian kita. Lingkungan yang natural mengandung sekurang-kurangnya sama banyak persoalan seperti lingkungan artifisial yang diciptakan dengan bantuan ilmu pengetahuan. Bagaimanapun juga, dulu hanya sejumlah kecil orang  sanggup memanfaatkan sumber-sumber alamiah dan dengan berbuat demikian mereka selalu merugikan serta mengorbankan orang lain.[18]
Dari penjelasan di atas, kita dapat memberikan sebuah pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekarang ini haruslah diabdikan kepada kemanfaatan bagi kehidupan kemanusiaan yang jika kita kaitkan dengan teori kebenaran dalam filsafat maka haruslah sesuai dengan teori corespondency dimana pernyataan ilmu pengetahuan haruslah sesuai dengan kenyataan di lapangan, selanjutnya juga harus terkait dengan teori consistency artinya bahwa kebenaran ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan penelitian yang menghasilkan pada ketepatan hasil sehingga antara teori corespondency dan teori consistency merupakan teori yang saling melengkapi dan bukan teori yang dipertentangkan.
Selanjutnya, kita juga dapat memberikan sebuah pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekarang haruslah dapat digunakan sebagai pemecah problem-problem kehidupan yang dalam teori kebenaran filsafat haruslah bernilai pragmatism, hal ini bukan berarti menggunakan ilmu pengetahuan semaunya sendiri sesuai dengan dorongan nafsu, melainkan pragmatism yang dibingkai oleh nilai-nilai religious keagagamaan sehingga dapat betul-betul bermanfaat dan bernilai guna bagi kehidupan kemanusiaan.
  1. KESIMPULAN
Filosofi secara etimologi mempuyai arti cinta kebijaksanaan, cinta pengetahuan atau cinta kearifan. Sedangkan secara terminologi filsafat adalah proses berfikir secara radikal, sistematik, dan universal terhadap manusia itu sendiri.
Ada empat aliran yang membicarakan hakikat manusia, yakni aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran eksistensialisme. Keempat aliran tersebutt membicarakan hakikat manusia dengan argumennya masing-masing, sedangkan hakikat manusia menurut Al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri atas unsur jasmani, akal, dan ruhani.
Ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata yakni ilmu dan pengetahuan. Ilmu merupakan salah satu dari hasil usaha manusia untuk memperadab dirinya. Sedangkan pengetahuan adalah hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya, adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Selain kedua penyebab di atas manusia juga mampu untuk menalar apa yang sedang diusahakannya, penalaran sendiri adalah suatu proses  berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Hal ini yang tidak dimiliki oleh makhluk lain selain manusia.
Dalam filsafat, kebenaran dibagi atas beberapa teori diantaranya adalah: Teori  korespondency, konsistency, pragmatisme dan teori religius.
Dulu ilmu pengetahuan praktis tidak mempengaruhi hidup sehari-hari. Dianggap sesuatu yang tidak penting dan dianggap biasa saja, bila ilmu pengetahuan tidak mempunyai konsekuensi dalam hidup kemasyarakatan, karena maknanya sama sekali lain. Pada masa lampau kegiatan ilmiah tidak bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan taraf hidup jasmani. Karena manusia pada masa itu menganggap bahwa taraf hidup sudah ditentukan oleh kodrat.
Namun, Kegiatan ilmiah sekarang ini didasarkan pada dua keyakinan yaitu: pertama segala sesuatu dalam realitas dapat diselidiki secara ilmiah, bukan saja untuk mengerti realitas dengan lebih baik, melainkan juga untuk menguasainya lebih mendalam menurut segala aspeknya. Kedua Semua aspek realitas membutuhkan juga penyelidikan seperti itu. Kebutuhan-kebutuhan yang paling primer, seperti air, makanan, udara, cahaya, kehangatan, tempat tinggal tidak akan cukup tanpa penyelidikan itu.
  1. PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat. Semoga dapat memberikan manfaat baik kepada pembaca maupun penyusun. Pastinya dalam penyusunan makalah ini tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangatlah diharapkan demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya. Dan semoga bermanfaat bagi kita semua. Amiiinn.............



DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal,  Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Maksum, Ali,  PengantarFilsafat,  Jogjakarta: Ar-Ruzz Media 2011.
Melsen, A.G.M. Van,  Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Jakarta: PT Gramedia, 1992.
S. Suriasumantri Jujun, filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,  Jakarta: PT. Total Grafika Indonesia  2003.
S. Suriasumantri, Jujun, Ilmu Dalam Persepektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara 2007.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan Manusia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2010.
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam,  Jakarta: Bumi Aksara, 2009.


[1]  Ali Maksum, PengantarFilsafat, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media 2011. Hal. 15.
[2]  Ali Maksum, PengantarFilsafat, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media 2011. Hal. 18.
[3]  Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2009). Hal. 73.
[4]  Ali Maksum, PengantarFilsafat, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media 2011). Hal. 356.
[5]  Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2009). Hal. 73.
[6]  Ali Maksum, PengantarFilsafat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media 2011). Hal. 357.
[7]  Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2009). Hal. 73.
[8]  Ali Maksum, PengantarFilsafat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media 2011). Hal. 364-368.
[9]  Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan Manusia. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010). Hal. 14
[10]  Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan Manusia. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010). Hal. 19-20.
[11]  Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Persepektif. (jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009). Hal. 110.
[12]  Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). Hal. 90.
[13]  Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). Hal. 86.
[14]  Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,  (Jakarta: PT. Total Grafika Indonesia, 2003). Hal. 39-42.
[15]  Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,  (Jakarta: PT. Total Grafika Indonesia, 2003). Hal. 44.
[16]  Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara 2007). Hal. 55.
[17]  A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. (Jakarta: PT Gramedia, 1992). Hal.4.
[18]  A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. (Jakarta: PT Gramedia, 1992). Hal. 5-6.

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar Anda Disini