Banyak yang berpendapat bahwa
belajar filsafat itu sulit atau susah karena filsafat dianalogikan pada suatu
perenungan yang tidak ada ujungnya. Namun jika ditilik lebih mendalam filsafat
boleh dikatakan sebagai mater scientiarum, yakni induk semua ilmu pengetahuan.
Setiap orang yang ingin belajar pengertian hidup dan kehidupan harus mengetahui
ilmu filsafat, sebab berfilsafat tidak lain adalah hidup berpikir dan pemikiran
sedalam-dalamnya tentang hidup dan kehidupan itu (living thought and
toughtfull living).
Pada awalnya cakupan objek filsafat
lebih luas dibandingkan ilmu, ilmu hanya terbatas pada persoalan empiris saja,
sedangkan filsafat mencangkup objek empiris dan non-empiris. Namun pada
perkembangannya, filsafat berkembang menjadi bagian dari ilmu itu sendiri
(terspelisiasi), sperti filsafat agama, filsafat hukum dan filsafat ilmu.
Alasannya, filsafat tidak bisa terus berada di awang-awang, tetapi ia juga
harus membimbing ilmu.
Pada kesempatan ini maka pemakalah
akan mengulas sedikit tentang filosofi manusia, ilmu pengetahuan dan hubungan
antara manusia dengan ilmu pengetahuan pada masa dulu dan sekarang, yang
merupakan sebuah pengantar dasar filsafat ilmu.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Filosofi Manusia?
B. Seperti apa Ilmu Pengetahuan itu?
C. Seperti apa Teori-teori kebenaran
dalam filsafat?
D. Bagaimana Hubungan Antara Manusia, Ilmu pengetahuan
dan kebenaran?
III. PEMBAHASAN
A. Filosofi Manusia
Filosofi manusia terdiri dari dua
kata yaitu filosofi dan manusia. Filosofi secara etimologi istilah filosofi
atau filsafat merupakan padanan kata falsafah (bahasa Arab) dan philosophy
(bahasa Inggris), yang berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia
adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata, philos dan sophia.
Kata philos berarti cinta (love) atau sahabat, dan shopia
berarti kebijaksanaan (wisdom), kearifan dan pengetahuan.
Sehingga secara etimologi filsafat berarti “love of wisdom” atau cinta
kebijaksanaan, cinta kearifan, cinta pengetahuan, atau sahabat
kebijaksanaan, sahabat kearifan dan sahabat pengetahuan.[1]
Sedangkan menurut terminologi terdapat beberapa definisi, antara lain:
a. Aristoteles
Filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyabab dari
realitas yang ada.
b. Rene descartes
Filsafat adalah himpunan dari segala
pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan
manusia.
c. William james
Filsafat adalah suatu upaya yang
luar biasa hebat untuk berfikir yang jelas dan terang.
d. R.F. beerling
Filsafat adalah mempertanyakan
tentang seluruh kenyataan atau tentang hakikat, asas, prinsip dan kenyataan.
Beerling juga mengatakan bahwa filsafat adalah usaha untuk mencapai akar
terdalam kenyataan dunia wujud, juga akar terdalam pengetahuan tentang diri
sendiri.
e.
Louis O.
Kattsoff
Filsafat merupakan suatu analisis
secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran mengenai suatu masalah, dan
penyusunan secara sengaja serta sistematis suatu sudut pandang yang menjadi
dasar suatu tindakan.[2]
Dari serangkaian definisi di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa filolofi manusia adalah proses berfikir
secara radikal, sistematik, dan universal terhadap manusia itu sendiri. Dengan
kata lain filosofi manusia adalah berfikir secara radikal (mendasar, dalam,
sampai keakar-akarnya tentang manusia), sistematik (teratur, runtut, logis, dan
tidak serampangan) untuk mencapai kebenaran universal (umum, terintegral, dan
tidak khusus tidak parsial).
Berbicara mengenai apa manusia itu,
ada empat aliran yaitu aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan
aliran eksistensialisme.
Aliran serba zat mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh
ada itu hanyalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat dari sesuatu.
Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari
itu hakikat dari manusia itu adalah zat atau materi.
Manusia sebagai makhluk materi, maka
pertumbuhannya berproses dari materi juga. Sel telur dari sang ibu bergabung
dengan sperma dari sang ayah, tumbuh menjadi janin, yang akhirnya kedunia
sebagai manusia. Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa, pikiran perasaan
(tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, khayalan, asosiasi, penghayatan, dan
sebagainya) dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh. Oleh karena itu manusia
sebagai materi, maka keperluan-keperluannya juga bersifat materi, ia
mendapatkan kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya juga dari materi, maka
terbentuklah suatu sikap atau pandangan yang materialistis. Oleh karena materi
itu adanya di dunia ini, maka pandangan materialistis itu identik dengan
pandangan hidup yang bersifat duniawi, sedangkan hal-hal yang bersifat ukhrawi
(akhirat) dianggap sebagai khayalan belaka.[3]
Di antara tokoh aliran ini adalah
Anaximenes (585-525 SM), Anaximandros (610-545 SM), Thales (625-545 SM), Thomas
Hobbes (1588-1679 M), Lamettrie (1709-1715 M), Feuerbach (1804-1877 M), Spencer
(1820-1903 M), dan Karl Marx (1818-1883 M).[4]
Aliran serba ruh berpendapat bahwa segala hakikat
sesuatu yang ada di dunia ialah “ruh”. Juga hakikat manusia adalah ruh. Adapun
zat itu adalah manifestasi dari pada ruh di dunia ini.
Ruh adalah sesuatu yang tidak
menempati ruang, sehingga tak dapat disentuh atau dilihat oleh panca indra.
Jadi berlawanan dengan zat yang menempati ruang betapapun kecilnya zat itu.
Istilah-istilah lain dari ruh yang
artinya hampir sama ialah jiwa, sukma, nyawa, semangat dan sebagainya. Materi
adalah penjelmaan ruh. Fichte berkata “bahwa segala sesuatu yang lain (selain
dari ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis, perupaan, perubahan
atau penjelmaan dari pada ruh”.
Dasar pikiran dari aliran ini ialah
bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya dari pada materi. Hal ini
dapat kita buktikan sendiri dalam kehidupan sehari-hari.misalnya seorang wanita
atau seorang pria yang kita cintai, kita tak mau pisah dengannya. Tetapi kalau
ruh dari wanita atau pria yang kita cintai tadi tidak ada pada badannya, berarti
dia meninggal dunia, mau tidak mau kita harus melepaskan dia untuk dikuburkan.
Kecantikan, kejelitaan, kemolekan, kebagusan yang dimiliki oleh wanita atau
pria tadi tak akan ada artinya tanpa ruh meskipun badannya masih utuh, masih
lengkap anggota badannya, tetapi kita mengatakan “dia sudah tidak ada, dia
sudah pergi, dia sudah menghadap tuhannya”. Demikian aliran ini menganggap
bahwa ruh itu ialah hakikat, sedang badan adalah penjelmaan atau bayangannya
saja.
Aliran dualisme mencoba untuk mengawinkan kedua
aliran tersebut di atas. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada
hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh.
Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak
tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya
ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua,
jasad dan ruh, yang keduanya berintegrasi membentuk yang disebut manusia.
Antara badan dan ruh terjalin hubungan yang bersifat kausal, sebab akibat.
Artinya antara keduanya saling pengaruh mempengaruhi. Sebagai contoh, orang
cacat jasmaninya akan berpengaruh pada perkembangan jiwanya. Sebaliknya orang
yang jiwanya kacau atau cacat, akan berpengaruh pada fisiknya.[5]
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain
adalah Plato (427-347 SM) Aristoteles (384-322 SM), Descartes (1596-1650 M),
Fechner (1802-1887 M), Arnold Gealinex, Leukippos, Anaxagoras, Hc. Daugall dan
A. Schopenhauer (1788-1860 M).[6]
Ahli-ahli filsafat modern dengan
tekun berfikir lebih lanjut tentang hakikat manusia mana yang merupakan
eksistensi atau wujud sesungguhnya dari manusia itu, mereka yang memikirkan
bagaimana eksistensi manusia atau wujud disebut kaum eksistensialis dan
alirannya disebut aliran eksistensialisme.[7]
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
menekankan eksistensia. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan
esensia dari segala yang ada. Karena memang sudah ada dan tak ada persoalan.
Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah pohon mangga. Harimau adalah harimau.
Manusia adalah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada
berada dan untuk apa berada. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan
pemikiran tentang eksistensia. Dengan mencari cara berada dan eksis
yang sesuai, esensia pun akan ikut terpengaruhi.
Dengan pengolahan eksistensia secara
tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optimal.
Untuk manusia, ini berarti bahwa dia tidak sekedar berada dan eksis, tetapi
berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan kemungkinan yang dapat
dicapai.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah:
Immanuel Kant, Jean-Paul Sartre, S. Kierkegaard (1813-1855 M), Friedrich
Niezsche (1844-1900 M), Karl Jaspers (1883-1969 M), Martin Heidegger (1889-1976
M), Gabriel Marcel (1889-1973 M), Ren Le Senne dan M. Merleau-Ponty (1908-1961
M).[8]
Penjelasan yang terbaik tentang
hakikat manusia ialah penjelasan dari pencipta manusia itu sendiri. Penjelasan
oleh rasio manusia mempunyai kelemahan karena akal itu terbatas kemampuannya.
Bukti terbaik tentang keterbatasan akal ialah akal itu tidak mengetahui apa
akal itu sebenarnya.
Berikut dijelaskan hakikat manusia
menurut Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab yang secara ilmiah terbukti
memuat firman Tuhan dan masih asli.
Menurut Al-Qur’an manusia adalah
makhluk ciptaan Tuhan. Jadi, manusia itu berasal dan datang dari Tuhan. Bila
ada argumen yang kuat untuk membuktikan bahwa manusia bukan ciptaan Tuhan dan
argumen itu lebih kuat ketimbang argumen bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan,
maka yang akan kita ambil ialah pendapat yang mengatakan bahwa manusia bukan
ciptaan Tuhan. Dan bila itu yang diambil maka harus juga dijelaskan bagaimana
cara munculnya manusia itu. Kemungkinan ini (manusia bukan ciptaan Tuhan)
sangat tidak mungkin.
Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia
itu mempunyai unsur jasmani (material). Sebagaimana diisyaratkan dalam
Al-Qur’an.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash: 77)
Di dalam surat al-A’raf ayat 31
Tuhan mengatakan bahwa makan dan minum bagi manusia adalah suatu keharusan. Ini
suatu indikasi bahwa manusia itu memiliki unsur jasmani. Al-Syaibani mengutif
tiga hadits Nabi Muhammad saw yang menerangkan bahwa manusia itu mempunyai
aspek jasmani.[9]
Akal adalah salah satu aspek penting
dalam hakikat manusia. Ini dijelaskan dalam banyak tempat di dalam
Al-Qur’an. Harun Nasution menjelaskan bahwa ada tujuh kata yang digunakan
Al-Qur’an untuk mewakili konsep akal. Pertama adalah kata nazara,
seperti di dalam surat Qaaf ayat 6-7, surat al-Thaariq ayat 5-7, al-Ghasiyah
17-20. Kedua kata tadabbara, seperti dalam surat Shaad ayat 29, surat
Muhammad ayat 24. Ketiga kata tafakkara, seperti di dalam surat al-Nahl
ayat 68-69, al-Jatsiyah ayat 12-13. Keempat kata faqiha, kelima kata tadzakkara,
keenam kata fahima, dan ketujuh adalah kata ‘aqala. Kata-kata itu
semua menunjukan bahwa Al-Qur’an mengakui akal adalah aspek penting dalam
hakikat manusia.
Aspek lainnya ialah ruh atau ruhani.
Penjelasan Al-Qur’an tentang aspek ini terdapat di dalam Al-Qur’an antara lain
dalam surat al-Hijr ayat 29, dan surat Shaad ayat 72. Ayat-ayat ini menjelaskan
bahwa manusia memiliki ruh. Dan ruh adalah unsur hakiki pada manusia. Jadi
hakikat manusia menurut Al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri atas unsur
jasmani, akal, dan ruhani. ketiganya sama pentingnya untuk dikembangkan.
Konsekuensinya, pendidikan harus didesain untuk mengembangkan jasmani, akal,
dan ruhani manusia.[10]
B. Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan terdiri dari dua
kata yakni ilmu dan pengetahuan. Ilmu merupakan salah satu dari hasil usaha
manusia untuk memperadab dirinya. [11] dalam Encyclopedia
Americana, dijelaskan bahwa ilmu (science) adalah pengetahuan yang
bersifat positif. The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The
Principles of Scientific Research memberi batasan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang dengan
melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih
lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian
hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan
mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.[12]
Sedangkan pengetahuan adalah semua
milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari
usaha manusia untuk tahu. Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa
pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari
kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki
yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang
mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan
aktif.[13]
Manusia adalah satu-satunya makhluk
yang mengembangkan pengetahuan ini secara sungguh-sungguh. Binatang juga
mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan
hidupnya (survival). Seekor kera tahu mana buah jambu yang enak. Seekor anak
tikus tahu mana kucing yang ganas. Anak tikus ini tentu saja diajari induknya
untuk sampai pada pengetahuan bahwa kucing itu berbahaya. Tetapi juga dalam hal
ini, berbeda dengan tujuan pendidikan manusia, anak tikus hanya diajari hal-hal
yang menyangkut kelangsungan hidupnya.
Manusia mengembangkan pengetahuannya
mengatasai kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal-hal baru,
menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup,
namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan, manusia memberi makna
kepada kehidupan, manusia “memanusiakan” diri dalam hidupnya, dan masih banyak
lagi pernyataan semacam ini. Semua itu pada hakikatnya menyimpulkan bahwa
manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari
sekedar kelangsungan hidupnya.ini lah yang menyebabkan manusia mengembangkan
pengetahuannya, dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong manusia menjadi
makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan
manusia disebabkan dua hal utama yakni, pertama, manusia mempunyai
bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang
melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia
mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan
berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara
berpikir seperti ini disebut penalaran. Dua kelebihan inilah yang memungkinkan
manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan
pikiran yang mampu menalar.[14]
Penalaran merupakan suatu
proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.
Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan
bukan dengan perasaan. Meskipun seperti yang dikatakan Pascal, hati pun
mempunyai logika tersendiri. Meski demikian patut kita sadari bahwa tidak semua
kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan
kebenaran.
Pengetahuan juga dapat kita tinjau
dari sumber yang memberikan pengetahuan tersebut. Dalam hal wahyu dan intuisi,
maka secara implisit kita mengakui bahwa wahyu (atau dalam hal ini Tuhan yang
menyampaikan wahyu) dan intuisi adalah sumber pengetahuan. Dengan wahyu maka
kita mendapatkan pengetahuan lewat keyakinan (kepercayaan) bahwa yang
diwahyukan itu adalah benar demikian juga dengan intuisi, di mana kita percaya
bahwa intuisi adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun kegiatan berpikir
intiutif tidak mempunyai logika atau pola berpikir tertentu. Jadi dalam hal ini
bukan saja kita berbicara mengenai pola penemuan kebenaran melainkan juga sudah
mencakup materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran tertentu.[15]
Masalah terjadinya pengetahuan
adalah masalah yang amat penting dalam epistemologi, sebab jawaban terhadap
terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham
filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentang terjadinya pengetahuan ini
apakah berfilsafat apriori atau aposteriori. Pengetahuan apriori adalah
pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman. Baik pengalaman
indra maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan aposteriori adalah
pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian, pengetahuan
ini bertumpu pada kenyataan objektif.[16]
C. Teori-teori kebenaran dalam filsafat
1. Teori Corespondence
Masalah kebenaran menurut teori ini
hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi, fakta, peristiwa,
pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau
kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek,
maka sesuatu itu benar.
Teori korispodensi (corespondence
theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan
benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu
pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan
atau pendapat tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian
pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan
sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
1. Statemaent (pernyataan)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to
objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh
aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut
oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada
abad moderen.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika
induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menuru
corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi
anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan
kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan
sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
Artinya anak harus mewujudkan di
dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus
mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan
nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga
kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku.
Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan
dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai
maka itu benar.
2. Teori Consistency
Teori ini merupakan suatu usaha
pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap
reliable jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat
konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam
waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk
menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan
realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya
dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena
itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali
berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang sebagai teori
ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan
khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.
Teori konsisten ini tidaklah
bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat
melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dan
teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti
kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti
kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence
theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada
pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang
telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika
pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan
lain yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah turth is a
sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C
Logika matematik yang deduktif
memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan
akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan
oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori ini sudah ada sejak Pra
Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu
teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji.
Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan teori
lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
3. Teori Pragmatisme
Paragmatisme menguji kebenaran dalam
praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau medoe problem
solving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar hanya jika mereka berguna mampu
memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan
pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan
kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di
dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan
tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori
akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu
mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.
Jika teori itu praktis, mampu
memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara
efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic
theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu
memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum pragmatis menggunakan kriteria
kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan
akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada
kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan
akibatnya.
Akibat/ hasil yang memuaskan bagi
kaum pragmatis adalah :
1. Sesuai dengan keinginan dan
tujuan
2. Sesuai dengan teruji dengan
suatu eksperimen
3. Ikut membantu dan mendorong
perjuangan untuk tetap eksis (ada)
Teori ini merupakan sumbangan paling
nyata dari pada filsup Amerika tokohnya adalha Charles S. Pierce (1914-1939)
dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).
Wiliam James misalnya menekankan
bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsikuensi, pada hasil tindakan yang
dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri,
malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan.
Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi)
atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori
konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program
solving.
4. Kebenaran Religius
Kebenaran adalah kesan subjek
tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika
keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan
kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh
umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber
dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu
adalah objektif namun bersifat superrasional dan superindividual. Bahkan bagi
kaum religius kebenarn aillahi ini adalah kebenarna tertinggi, dimnaa semua
kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan
nilainya berada di bawah kebanaran ini :
Agama sebagai teori kebenaran
Ketiga teori kebenaran sebelumnya
menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam
teori kebanran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk
pencari kebeanran, manusia dan mencari dan menemukan kebenaran melalui agama.
Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran
agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.agama dengan kitab suci dan
haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk
kebenaran
D. Hubungan
Manusia, Ilmu Pengetahuan dan Kebenaran
Perbedaan antara situasi ilmu
pengetahuan dulu dan sekarang tentu tidak terbatas pada kesatuan lebih besar
yang menandai ilmu pengetahuan di masa lampau. Terdapat juga perbedaan-perbedaan
lain. Antara lain cukup menyolok mata bahwa tempat yang diduduki ilmu
pengetahuan dalam hidup sehari-hari dulu sama sekali berbeda, kalau
dibandingkan dengan situasi modern sekarang. Dulu ilmu pengetahuan praktis
tidak mempengaruhi hidup sehari-hari. Dan dianggap biasa saja, bila ilmu
pengetahuan tidak mempunyai konsekuensi dalam hidup kemasyarakatan, karena
maknanya sama sekali lain. Dalam konteks ini misalnya terdapat suatu perkataan
Aristoteles yang cukup menarik “ umat manusia menjamin urusannya untuk hidup
sehari-hari barulah dapat ia arahkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan”.
Jadi, rupanya kegiatan ilmiah tidak bertujuan mempermudah urusan ini atau
meningkatkan taraf hidup jasmani. Apalagi, pada waktu itu tidak mungkin orang
berpikir mau meningkatkan taraf hidup, karena tingginya taraf hidup dianggap
telah ditentukan oleh alam kodrat dan manusia tidak sanggup mengubah alam
kodrat.[17] Pada
ketika itu ilmu pengetahuan mempunyai tujuan yang sama sekali lain. Ilmu
pengetahuan bertujuan memperingatkan manusia bahwa selain makhluk alamiah
(makhluk yang tersimpul dalam tata susunan alam) ia masih merupakan suatu yang
lain, yaitu makhluk yang mengetahui tentang dirinya dan dengan demikian juga
dengan perbedaannya dengan alam. Ilmu pengetahuan bermaksud mendalami tentang
diri manusia dan alam itu, supaya secara rohani manusia dapat sampai pada inti
dirinya. Karena itu pula ilmu pengetahuan tidak “berguna”, dalam arti bahwa
ilmu pengetahuan tidak berusaha mencapai sesuatu yang lain. Ilmu pengetahuan
itu dipraktekkan demi ilmu pengetahuan itu sendiri, karena hanya dengan dan
ilmu pengetahuan manusia bisa menjadi manusia sungguh-sungguh, yaitu makhluk
yang menyadari dirinya dan kedudukannya yang unik dalam kosmos.
Kini fungsi manusia dari ilmu pengetahuan telah
berubah secara radikal. Barangkali masih ada sisa sedikit dari fungsi aslinya
(harus kita selidiki lagi nanti), tetapi yang pasti ialah bahwa ilmu
pengetahuan sekarang ini melayani kehidupan sehari-hari menurut segala
aspeknya. Kegiatan ilmiah dewasa ini didasarkan pada dua keyakinan berikut ini:
1. Segala sesuatu dalam realitas dapat
diselidiki secara ilmiah, bukan saja untuk mengerti realitas dengan lebih baik,
melainkan juga untuk menguasainya lebih mendalam menurut segala aspeknya.
2. Semua aspek realitas membutuhkan
juga penyelidikan seperti itu. Kebutuhan-kebutuhan yang paling primer, seperti
air, makanan, udara, cahaya, kehangatan, tempat tinggal tidak akan cukup tanpa
penyelidikan itu. Dan banyak hal lain dapat disebut lagi.
Tentu saja, dapat dikatakan juga bahwa kita sekarang
ini berada dalam semacam gerak spiral: di satu pihak kita harus menggunakan
ilmu pengetahuan untuk menjamin kebutuhan-kebutuhan kita yang paling elementer
dan di lain pihak keharusan itu sebagian disebabkan karena kita telah
mempengaruhi dan mengubah keadaan hidup kita yang natural. Kita sendiri telah
menciptakan suatu situasi yang cukup ganjil. Lebih dahulu kita telah merusak
lingkungan hidup yang natural (air, udara, tanah) dan kita harus membersihkan
lagi lingkungan itu. Namun demikian, kita sepatutnya hati-hati dulu dan tidak
terlanjur cepat melontarkan penilaian kita. Lingkungan yang natural mengandung
sekurang-kurangnya sama banyak persoalan seperti lingkungan artifisial yang
diciptakan dengan bantuan ilmu pengetahuan. Bagaimanapun juga, dulu hanya
sejumlah kecil orang sanggup memanfaatkan sumber-sumber alamiah dan
dengan berbuat demikian mereka selalu merugikan serta mengorbankan orang lain.[18]
Dari penjelasan di atas, kita dapat memberikan sebuah
pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekarang ini haruslah diabdikan kepada
kemanfaatan bagi kehidupan kemanusiaan yang jika kita kaitkan dengan teori
kebenaran dalam filsafat maka haruslah sesuai dengan teori corespondency dimana
pernyataan ilmu pengetahuan haruslah sesuai dengan kenyataan di lapangan,
selanjutnya juga harus terkait dengan teori consistency artinya bahwa kebenaran
ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan penelitian yang menghasilkan pada
ketepatan hasil sehingga antara teori corespondency dan teori consistency merupakan
teori yang saling melengkapi dan bukan teori yang dipertentangkan.
Selanjutnya, kita juga dapat memberikan sebuah
pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekarang haruslah dapat digunakan sebagai
pemecah problem-problem kehidupan yang dalam teori kebenaran filsafat haruslah
bernilai pragmatism, hal ini bukan berarti menggunakan ilmu pengetahuan
semaunya sendiri sesuai dengan dorongan nafsu, melainkan pragmatism yang
dibingkai oleh nilai-nilai religious keagagamaan sehingga dapat betul-betul
bermanfaat dan bernilai guna bagi kehidupan kemanusiaan.
- KESIMPULAN
Filosofi secara etimologi mempuyai arti cinta
kebijaksanaan, cinta pengetahuan atau cinta kearifan. Sedangkan secara
terminologi filsafat adalah proses berfikir secara radikal, sistematik, dan
universal terhadap manusia itu sendiri.
Ada empat aliran yang membicarakan hakikat manusia,
yakni aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran
eksistensialisme. Keempat aliran tersebutt membicarakan hakikat manusia dengan
argumennya masing-masing, sedangkan hakikat manusia menurut Al-Qur’an ialah
bahwa manusia itu terdiri atas unsur jasmani, akal, dan ruhani.
Ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata yakni ilmu dan
pengetahuan. Ilmu merupakan salah satu dari hasil usaha manusia untuk
memperadab dirinya. Sedangkan pengetahuan adalah hasil proses dari usaha
manusia untuk tahu. Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua
hal utama yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu
mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi
tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan
pengetahuannya, adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir
tertentu. Selain kedua penyebab di atas manusia juga mampu untuk menalar apa
yang sedang diusahakannya, penalaran sendiri adalah suatu proses berpikir
dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Hal ini yang tidak
dimiliki oleh makhluk lain selain manusia.
Dalam filsafat, kebenaran dibagi atas beberapa teori
diantaranya adalah: Teori korespondency, konsistency, pragmatisme dan
teori religius.
Dulu ilmu pengetahuan praktis tidak mempengaruhi hidup
sehari-hari. Dianggap sesuatu yang tidak penting dan dianggap biasa saja, bila
ilmu pengetahuan tidak mempunyai konsekuensi dalam hidup kemasyarakatan, karena
maknanya sama sekali lain. Pada masa lampau kegiatan ilmiah tidak bertujuan
untuk memperbaiki atau meningkatkan taraf hidup jasmani. Karena manusia pada
masa itu menganggap bahwa taraf hidup sudah ditentukan oleh kodrat.
Namun, Kegiatan ilmiah sekarang ini didasarkan pada
dua keyakinan yaitu: pertama segala sesuatu dalam realitas dapat
diselidiki secara ilmiah, bukan saja untuk mengerti realitas dengan lebih baik,
melainkan juga untuk menguasainya lebih mendalam menurut segala aspeknya. Kedua
Semua aspek realitas membutuhkan juga penyelidikan seperti itu.
Kebutuhan-kebutuhan yang paling primer, seperti air, makanan, udara, cahaya,
kehangatan, tempat tinggal tidak akan cukup tanpa penyelidikan itu.
- PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat. Semoga dapat
memberikan manfaat baik kepada pembaca maupun penyusun. Pastinya dalam
penyusunan makalah ini tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan, oleh karena
itu kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangatlah diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya. Dan semoga bermanfaat bagi kita
semua. Amiiinn.............
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar,
Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Maksum, Ali,
PengantarFilsafat, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media 2011.
Melsen,
A.G.M. Van, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Jakarta: PT
Gramedia, 1992.
S.
Suriasumantri Jujun, filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta: PT. Total Grafika Indonesia 2003.
S.
Suriasumantri, Jujun, Ilmu Dalam Persepektif. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2009
Surajiyo, Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara 2007.
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu,
Memanusiakan Manusia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2010.
Zuhairini,
dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
[1]
Ali Maksum, PengantarFilsafat, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media 2011. Hal. 15.
[2]
Ali Maksum, PengantarFilsafat, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media 2011. Hal. 18.
[3]
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2009).
Hal. 73.
[4]
Ali Maksum, PengantarFilsafat, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media 2011). Hal.
356.
[5]
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2009).
Hal. 73.
[6]
Ali Maksum, PengantarFilsafat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media 2011). Hal.
357.
[7]
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2009).
Hal. 73.
[8]
Ali Maksum, PengantarFilsafat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media 2011). Hal.
364-368.
[9]
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam Integrasi Jasmani, Rohani, dan
Kalbu, Memanusiakan Manusia. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010). Hal. 14
[10]
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam Integrasi Jasmani, Rohani, dan
Kalbu, Memanusiakan Manusia. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010). Hal.
19-20.
[11]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Persepektif. (jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2009). Hal. 110.
[12]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). Hal. 90.
[13]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). Hal. 86.
[14]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: PT. Total Grafika Indonesia, 2003). Hal. 39-42.
[15]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: PT. Total Grafika Indonesia, 2003). Hal. 44.
[16]
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara 2007).
Hal. 55.
[17]
A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. (Jakarta:
PT Gramedia, 1992). Hal.4.
[18]
A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. (Jakarta:
PT Gramedia, 1992). Hal. 5-6.
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar Anda Disini