A. Pendahuluan
Metode
pengajaran ialah cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan
siswa pada saat berlangsung pengajaran. Oleh karena itu, peranan metode
mengajar sebagai alat untuk menciptakan proses mengajar dan belajar sangat
penting. Dengan metode ini diharapkan tumbuh berbagai kegiatan belajar siswa
sehubungan dengan kegiatan mengajar guru. Dengan kata lain, terciptalah
interaksi edukatif. Dalam interaksi ini guru-guru berperan sebagai penggerak atau
pembimbing, sedangkan siswa berperansebagai penerima atau yang dibimbing.
Proses ini akan berjalan baik kalau siswa banyak aktif dibandingkan dengan
guru. Oleh karenanya metode mengajar yang baik adalah metode yang dapat
menumbuhkan kegiatan belajar siswa.[1]
Dalam rangkaian sistem pengajaran, metode menempati
urutan sesudah materi. Penyampaian materi tidak berarti apapun tanpa melibatkan
metode. Metode selalu mengikuti materi, dalam arti menyesuaikan dengan bentuk
dan coraknya, sehingga metode mengalami transformasi bila materi yang
disampaikan berubah. Akan tetapi, materi yang sama bisa dipakai metode yang
berbeda-beda.[2]
B. Rumusan
Masalah
a.
Apa pengertian
pendidikan pondok pesantren?
b.
Bagaimana sistem
pendidikan pondok pesantren?
c.
Apa saja
komponen-komponen pendidikan di pondok pesantren?
d.
Metode apa saja
yang digunakan dalam pembelajaran di pondok pesantren?
Assalamu'alaikum wr wb....
ANDA MAHASISWA??? BUTUH BIAYA UNTUK KULIAH?..BUTUH UANG UNTUK
JAJAN??
sebuah INFO UNTUK KESUKSESAN ANDA, ada di SINI : ...ADA PERMASALAHAN DALAM EKONOMI
ANDA???.. ATAU SEKEDAR BUTUH TAMBAHAN PENGHASILAN??..butuh modal untuk usaha anda??? DI SINI SOLUSINYA... Klik:"UBAH HIDUP KITA"
ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala benar-benar memuliakan orang-orang yang
bersedekah. Ia menjanjikan banyak keutamaan dan balasan yang menakjubkan bagi
orang-orang yang gemar bersedekah. Sungguh keajaiban sedekah ini memiliki
keutamaan yang besar. MAKA KAMI MENYEDIAKAN SISTEM
UNTUK ANDA DI SINI...KESEMPATAN EMAS BUAT MERUBAH
EKONOMI KITA MENJADI LEBIH BAIK ...hanya di SEDEKAH MERUBAH HIDUP KITA
Allah berfirman:
إِنَّ
الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً
يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun
perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan
bagi mereka pahala yang banyak.” (Qs. Al Hadid, Ayat: 18)..
Rp. 50.000,- dan pasti Allah akan melipat gandakannya...BURUAN DAFTAR...!!!!! Berapa hari uang sebesar RP.50.000,- akan
bertahan dalam saku anda???...
Maka buatlah berlipat GANDA dengan bergabung di http://www.kitaberamal.com/?id=darnoto
Banyak
keutamaan ini seakan-akan seluruh kebaikan terkumpul dalam satu amalan ini,
yaitu sedekah. Maka, sungguh mengherankan bagi orang-orang yang mengetahui
dalil tersebut dan ia tidak terpanggil hatinya serta tidak tergerak tangannya
untuk banyak bersedekah. Semoga kita senantiasa diberi nikmat dan kesadaran
untuk bersedekah.
Wassalamu'alaikum wr wb.....
BAB II.
PEMBAHASAN
1.
Pendidikan Pondok Pesantren
Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia.
Melalui pendidikan, manusia dapat belajar menghadapi alam semesta demi
mempertahankan hidupnya. Ditinjau dari segi filsafat pendidikan, memang manusia
adalah yang layak dan memiliki potensi untuk dididik. Mungkin karena itu pula,
alasan Islam menempatkan pendidikan dalam kedudukan yang sangat tinggi. Bahkan
dalam beberapa hal, pendidikan telah masuk dalam doktrin ajaran Islam.[3]
Seperti yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-Mujadalah, bahwa
dengan pendidikan, derajat manusia akan diunggulkan oleh Allah SWT.
...... يَرْفَعِ
اللهُ الَّذِيْنَ امَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتٍ
......الاية (المجادلة: ١١)
Artinya;
….Niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat ….. Q.S. al- Mujadalah: 11[4]
Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang penting dan
tinggi. Hal ini dapat pula kita lihat di dalam al-Quran, yaitu pada lima ayat
pertama dalam surat al-Alaq yang dimulai dengan perintah membaca. Al-Maraghi[5]
menafsirkan ayat tersebut dalam bentuk berikut “Jadilah engkau orang yang bisa
membaca berkat kekuasaan dan kehendak Allah yang telah menciptakanmu.
Kerjakanlah apa yang Aku perintahkan yaitu membaca”. Perintah ini diulang-ulang
sebab membaca tidak akan meresap ke dalam jiwa, kecuali setelah diulang-ulang
dan dibiasakan. Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan tentang keutamaan
membaca, menulis dan ilmu pengetahuan.
Pendidikan Islam di Indonesia
merupakan warisan peradaban Islam, sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan
nasional. Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan
dikembangkan oleh umat Islam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai aset,
pendidikan Islam yang tersebar di berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi
bangsa Indonesia untuk menata dan mengelolahnya sesuai dengan sistem pendidikan
nasional.[6]
Kurang lengkap rasanya kalau
membicarakan pendidikan Islam di Indonesia tanpa memasukkan nama pesantren.
Sejumlah pakar meyakini bahwa ia merupakan bentuk pendidikan Islam yang Indegenous
di negeri ini. Bahkan karena keasliannya bentuk pendidikan ini, Belanda yang
telah melakukan penjajahan selama 300-an tahun tidak mampu menimbulkan imitasi
budaya di lingkungan pesantren ini.[7]
Eksistensi pendidikan model pesantren ini, telah hidup dan berada dalam budaya
bangsa Indonesia selama berabad-abad yang silam dan tetap bertahan hingga
sekarang.[8]
Pendidikan pondok pesantren bahkan
telah diakui oleh sarjana-sarjana barat seperti Van Den Berg, Hurgronje dan
Geertz, sangat berpengaruh dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural,
politik dan keagamaan orang-orang perdesaan di Indonesia.[9]
Walaupun di Indonesia berkembang
jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat
tinggi IAIN, namun secara luas, kekuatan pendidikan Islam di Indonesia masih
berada pada sistem pendidikan pesantren. Hal ini dibuktikan dengan dominasi
ulama’-ulama’ besar yang mempunyai mutu tinggi, yang sangat digemari masyarakat
terutama dalam kegiatan pengajian umum yang diasuhnya.[10]
Keberhasilan para pemitmpin
pesantren dalam melahirkan sejumlah
besar “ulama’” yang berkualitas tinggi adalah karena metode pendidikan yang
dikembangkan oleh para kyai berupa bimbingan pribadi yang menerapkan penguasaan
kualitatif.[11]
Dalam perkembangan terakhir ini
telah terbukti bahwa dari pesantren telah lahir banyak pemimpin bangsa dan
pemimpin masyarakat. Pesantren juga telah memberikan nuansa dan mewarnai corak
dan pola kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, pesantren juga
merupakan benteng pertahanan yang kokoh dalam menghadapi dahsyatnya gelombang
budaya dan peradaban yang tidak sesuai dengan nilai-nilai illahiyyah.
Sejarah telah mencatat prestasi pesantren sebagai pembentuk kultur, cultural
broker (istilah Geertz), maupun sebagai benteng pertahanan bagi nilai-nilai religius.[12]
Ronald Lukens Bull dalam penelitian
monumentalnya telah mengindikasikan keuletan dan ketangguhan dunia pesantren
dalam merespons globalisasi. Bahwa dalam rangka menyikapi modernisasi dan
globalisasi ternyata kaum pesantren
memilih dunia pendidikan sebagai alat yang paling utama untuk penegakan jihad
damai (peacefull jihad). Dengan jihad damai di jalan Allah melalui
sistem pendidikan pesantren, komunitas ini mencoba memenuhi tuntutan dan
kebutuhan Indonesia modern dan globalisasi dengan tetap bersandar pada stabilitas
dan identitas agama.[13]
Filosofi pendidikan pesantren
didasarkan atas hubungan yang bermakna antara manusia, ciptaan atau mahkluk,
dan Allah SWT. Hubungan ini baru bermakna jika bermuatkan atau menghasilkan
keindahan dan keagungan.[14]
Pesantren kini telah mampu membenahi
dirinya untuk tetap memiliki peranan dalam membangun masa depan Indonesia.
Mereka tidak mendambakan, apalagi melindungi pandangan hidup tradisional
menjadi suatu sistem yang tertutup dan memalingkan diri dari proses
modernisasi.[15]
Di pesantren pembelajaran selalu mengarah pada pengembangan intelektualitas
berpadu dengan pembangunan karakter.[16]
2.
Pengertian Pondok Pesantren
Lembaga pendidikan Pondok pesantren
sebelum tahun 1960-an, lebih dikenal sebagai pondok. Istilah ini menurut Zamakhsyari
Dhofier lebih dikarenakan asrama-asrama atau tempat tinggal yang dihuni para
santri sebagian besar terbuat dari bambu. Mungkin juga kata pondok berasal dari
bahasa Arab funduq yang berarti asrama atau hotel.[17]
Sementara
menurut KH. Abdurrahman wahid, pesantren diartikan sebagai suatu tempat yang
dihuni oleh para santri. Pernyataan ini menjunjukkan makna pentingnya ciri-ciri
pesantren sebagai sebuah lingkungan pendidikan yang integral. Sebagai mana
beliau mengumpamakan layaknya sebuah akademi militer.[18]
Perkataan
pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe- dan akhiran
–an yang berarti tempat tinggal para santri. Profesror Johns mengatakan
bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang artinya guru mengaji,
sedang C. C. Berg berpendapat bahwa kata santri berasal dari kata shastri
berasal dari bahasa India yang berarti buku-buku suci, buku-buku keagamaan dan
buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[19]
Secara
terminologis banyak batasan yang diberikan oleh para ahli, M. Arifin misalnya,
mendefinisikan pesantren sebagai sebuah pendidikan agama Islam yang tumbuh
serta diakui oleh masyarakat sekitar.[20]
Dan di dalam beberapa literatur
disebutkan bahwa pondok pesantren
merupakan hasil modifikasi dari lembaga pendidikan agama Hindu yang bernama mandala
yang kemudian diberi sentuhan-sentuhan Islam.
Pesantren mengemban beberapa peran,
utamanya sebagai lembaga pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang
sekaligus juga memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan,
kepelatihan, pengembangan masyarakat, dan sekaligus menjadi simpul budaya, maka
itulah pondok pesantren.[21]
Pesantren, walaupun pada dasarnya
adalah lembaga pendidikan Islam, namun demikian ia mempunyai fungsi tambahan
yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi pendidikan tersebut. Ia merupakan
sarana informasi, komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakat,
tempat pemupukan solidaritas masyarakat, dan seterusnya.[22]
3.
Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan
yang sistemik. Di dalamnya memuat tujuan, nilai dan berbagai unsur yang bekerja
secara terpadu satu sama lain dan tidak terpisahkan. Istilah sistem berasal
dari bahasa Yunani “sistema”, yang berarti sehimpunan bagian atau
komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu
keseluruhan. Dengan demikian sistem pendidikan adalah totalitas interaksi
seperangkat unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama secara terpadu dan saling
melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang
dicita-citakan.[23]
Sinkronisasi unsur-unsur dan
nilai-nilai dalam sistem pendidikan pesantren merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisah-pisahkan satu dari yang lain. Sistem pendidikan pesantren
didasari, digerakkan, dan diarahkan sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang
bersumber pada dasar Islam yang membentuk pandangan hidup. Pandangan hidup yang
dijadikan acuan dalam menetapkan tujuan pendidikan. Dengan demikian, sistem
pendidikan pesantren didasarkan atas dialektika
antara kepercayaan terhadap ajaran agama yang diyakini memiliki nilai
kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki kebenaran relatif.[24]
Perkembangan dunia telah melahirkan suatu kemajuan zaman yang
modern perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosio-kultural seringkali
membentur pada aneka kemapanan. Dan berakibat pada keharusan untuk mengadakan
usaha kontekstualisasi bangunan-bangunan sosio-kultural dengan dinamika
modernisasi, tak terkecuali dengan sistem pendidikan pesantren. Karena itu
sistem pendidikan pesantren harus selalu melakukan upaya rekonstruksi pemahaman
tentang ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survive.[25]
Keharusan untuk rekonstruksi
sebenarnya sudah dimaklumi. Sebagai mana adanya kaidah al-muhafadhahtu ‘ala al-qadim ash-shalih
wa al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah. Kaidah ini merupakan legalitas yang
kuat atas segala upaya rekonstruksi. Kebebeasan membentuk model pesantren
merupakan keniscayaan, asalkan tidak terlepas dari bingkai al-ashlah (lebih
baik). Begitu pula, ketika dunia pesantren diharuskan mengadakan rekonstrusi
sebagai konsekuensi dari kemajuan dunia modern, maka aspek al-ashlah
menjadi kata kunci yang harus dipegang.[26]
4.
Komponen-Komponen Pendidikan Pondok Pesantren
Komponen dasar yang menjadikan
sebuah lembaga pendidikan disebut pesantren, menurut Zamakhsyari
Dhofier ada lima komponen diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Kyai
Sebutan
kyai sangat beragam, antara lain: ajengan, elang di Jawa Barat; tuan
guru, tuan syaikh di Sumatra. Kyai adalah tokoh karismatik yang diyakini
memiliki pengetahuan agama yang luas sebagai pemimpin dan pemilik pesantren.
Kyai merupakan figur sentral yang merencanakan, menyelenggarakan, dan
mengendalikan seluruh pelaksanaan kegiatan pendidikan di pesantren.[27]
Kyai
terutama yang tinggal di perdesaan merupakan penyalur tradisi pesantren yang
paling efektif dan pendukung utama bagi pemimpin-pemimpin besar dalam usahanya
memelihara dan menyebarkan ideologi Islam tradisional di Jawa.[28]
Memang
betul bahwa lembaga-lembaga pesantren terikat kuat dengan formulasi eksplisit
Islam tradisional. Tetapi para kyai yang menjadi penghubung antara Islam
Tradisional dan dunia nyata ini juga meupakan bagian nyata kehidupan bangsa
Indonesia. Kedudukan ganda kyai ini memang unik, dan menjadi inti dari kualitas
yang menonjol. Memang benar, kedudukan ganda ini pula yang seringkali menjadi
sumber tragedi yang dialami oleh para kyai; tetapi justru pada kedudukan ganda
ini pula terletak keagungan mereka.[29]
Kedudukan
ganda ini memang menyulitkan kyai sebagai pimpinan pesantren; tetapi para kyai
adalah pemimpin-pemimpin kreatif yang
selalu berhasil mengembangkan pesantren dalam dimensi-dimensi yang baru; dan
panorama yang berwajah majemuk kehidupan pesantren sekarang ini, adalah
merupakan petunjuk adanya kreasi yang jenius para kyai.[30]
2.
Pondok
Pondok pesantren pada dasarnya
merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana siswanya tinggal
bersama kyai dalam satu komplek yang sama. Ia mendapat bimbingan dari kyai
tersebut dalam waktu yang relatif terus menerus dalam waktu sepanjang hari.
Pondok, asrama bagi para santri,
merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan sistem
pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah
Islam di negara-negara lain. Sistem pendidikan surau di daerah Minangkabau atau
Dayah di Aceh pada dasarnya sama dengan sistem pondok, yang berbeda hanya
namanya.[31]
Di jawa, besarnya pondok tergantung
dari jumlah santri. Pesantren besar yang memiliki santri lebih dari 3.000 ada
yang memiliki gedung bertingkat tiga yang terbuat dari tembok; semua ini
biasanya dibiayai dari para santri dan sumbangan masyarakat.[32]
Ada tiga alasan utama mengapa
pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri:
a.
Untuk menggali ilmu sang kyai secara utuh, maka
santri-santri yang kebanyakan berdomisili jauh dari pesantren membutuhkan
tempat menginap dalam kurun waktu yang tidak singkat.
b.
Sebagian besar, pesantren berada di daerah perdesaan yang belum tersedia
tempat-tempat kos, penginapan, dan juga tidak tersedia perumahan (akomodasi)
untuk menampung santri-santri.
c.
Munculnya sikap timbal balik, sehingga antara kyai dan
santri terjalin hubungan laksana anak dan bapak yang keduanya saling
membutuhkan untuk selalu berdampingan. Seorang kyai dapat membimbing santri
secara lebih tanggung jawab, sementara santri dapat membantu kyai-nya untuk
dapat berbakti sebagai wujud timbal
balik dari ia memperoleh ilmu.[33]
3.
Santri
Santri merupakan elemen pokok dalam
sebuah pesantren, sebagaimana kata pesantren itu sendiri merupakan wujud dari
penamaan lembaga pendidikan yang mengambil kata santri itu sendiri.[34]
Seorang ulama’pun dikatakan sebagai seorang kyai (di jawa), dikarenakan
memiliki santri yang mempelajari kitab-kitab Islam klasik di dalam
pesantrennya.[35]
Dhofier mengklasifikasikan santri
menjadi dua, yaitu:
a.
Santri mukim, yaitu murid-murid yang dari jauh maupun dari dekat pesantren
yang menetap untuk waktu yang lama.
b.
Santri kalong, yaitu murid-murid dari desa sekitar pesantren dan mereka
tidak menetap di pesantren tersebut.
Biaya
untuk belajar di pesantren pada waktu dulu mahal (baik untuk pelajaran, ongkos
hidup, maupun kitab-kitab yang harus dibeli), bahkan kadang harus ditanggung
oleh keluarga dekat.[36]
Apakah hal tersebut masih berlaku untuk saat ini? Seperti yang penulis cermati
bahwa pendidikan pesantren memang merupakan pendidikan yang membutuhkan biaya
tidak sedikit.
Tetapi
anggapan diatas memang ada benarnya karena sebagian besar santri yang menuntut
ilmu di pesantren kebanyakan merupakan dari keluarga yang berkecukupan. Biaya
pendidikan di pesantren yang santrinya tidak bisa nyambi untuk bekerja,
maka hal itu menjadi beban tersendiri bagi keluarganya. Tetapi hal ini perlu
kajian lebih lanjut untuk mendapatkan data yang lebih akurat.
Walaupun
demikian biaya pendidikan di pondok pesantren jauh lebih terjangkau, hal ini
terbukti bahwa sebagian besar santri yang mengenyam pendidikan di pondok
pesantren adalah kalangan masyarakat dengan taraf ekonomi menengah ke bawah.
Walaupun akhir-akhir ini sudah mulai banyak santri yang berasal dari kalangan
ekonomi atas, tetapi prosentasenya masih relatif kecil.
4.
Masjid
Kedudukan masjid sebagai pusat
pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari
sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain, kesinambungan sistem
pendidikan Islam yang berpusat pada masjid sejak Masjid Qubba didirikan dekat
Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar pada sistem pesantren.
Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam. Dimanapun kaum
muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan,
pusat pendidikan, aktivitas administrasi, dan kultural. Hal ini berlangsung
selama 13 abad.[37]
Berdasarkan pengamatan peneliti
tidak semua pondok pesantren mempunyai fasilitas masjid, terutama
pesantren-pesantren yang masuk kategori kecil. Pesantren semacam ini kadang
hanya memiliki musholla, bahkan ada yang mempergunakan aula (tempat yang
sedikit lebar) untuk difungsikan sebagai pengganti peran masjid.
5.
Pengajaran Kitab Islam Klasik
Pengajaran kitab Islam klasik yang
diajarkan di pesantren merupakan kitab-kitab karangan ulama’ yang menganut
faham syafi’i. Diantara kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren, menurut
Dhofier dapat digolongkan menjadi 8 kelompok jenis pengengetahuan: 1. Nahwu
(syntax) dan shorof (morfologi), 2. Fiqh, 3. Ushul fiqh, 4. Hadits, 5. Tafsir,
6. Tauhid, 7. Tasawuf dan etika, 8. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan
balaghah.[38]
Kitab-kitab tersebut meliputi teks
yang sangat pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai
hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh dan tasawuf. Kesemuanya dapat digolongkan ke
dalam tiga kelompok tingkatan, yaitu: 1. Kitab dasar, 2. Kitab tingkat
menengah, 3. Kitab tingkat tinggi.[39]
5.
Keteladanan Dalam Pendidikan Pondok Pesantren
Pendidikan merupakan usaha membentuk
kepribadian yang baik dan utama, oleh karena itu perlu metode pendidikan untuk
mencapai tujuan mulia tersebut. Huzaimin Mazhahiri berpendapat, secara umum
pendidikan terbagi dalam dua macam, yaitu:
1.
Pendidikan dengan ucapan dan omongan atau pendidikan
teoritis dengan pemahaman dan pemikiran.
2.
Pendidikan dengan amal dan sikap atau pendidikan amaliah
(praktek nyata) yang berkaitan dengan sikap dan perbuatan.
Pendidikan
secara amaliah (praktek nyata), pada dasarnya sejalan dengan aturan
meniru. Pendidikan model ini memiliki dampak sangat dalam dan berpengaruh besar
dari pada pendidikan secara teori. Misalnya dalam kehidupan keluarga, kedua
orang tua bisa memberikan pendidikan praktek nyata dengan memberikan contoh
dengan sikap, perbuatan dan panutan yang baik bagi anak-anaknya, dalam kehidupan
sekolah guru atau seorang pendidik bisa memberikan contoh dan panutan yang baik
mengenai bagaimana harus bersikap, berkata dan berbicara dengan orang lain.
Dengan kata lain pendidikan dengan praktek nyata adalah memberi contoh dengan
cara bersikap dan beramal.[40]
Dalam
pendidikan Islam, metode pendidikan seperti ini juga disebut pendidikan dengan
teladan yang menurut Drs. Hery Noer Aly, MA., berarti pendidikan dengan memberi
contoh baik berupa tingkah laku, sifat, cara berpikir, dan sebagainya.[41]
Banyak ahli pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan
merupakan metode yang paling efektif, sukses dan berhasil guna.[42]
Hal itu
karena dalam belajar, orang pada umumnya lebih mudah menangkap yang kongkrit
dari pada yang abstrak. Pendidik kadang kala merasa mudah mengkomunikasikan
pesannya secara lisan. Namun anak akan merasa kesulitan dalam memahami pesan
itu apabila ia melihat pendidiknya tidak memberi contoh tentang pesan yang
disampaikannya.
Untuk
mencapai pada pendidikan dengan metode keteladanan yang baik dan tepat
khususnya pada pendidikan Islam, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
seorang pendidik:
1.
Mengarahkan identifikasi pada tujuan pendidikan Islam.
2.
Mempersiapkan dirinya sebagai contoh identifikasi, dan
3.
Menyiapkan atau menciptakan tokoh identifikasi sesuai dengan
tujuan pendidikan Islam baik tokoh sejarah maupun tokoh cerita baik melalui
gambar, lisan ataupun tulisan.[43]
Berdasarkan gambaran di atas, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan dengan keteladanan merupakan metode
pendidikan yang paling efektif dan sukses.[44]
Hal ini sesuai dengan ajaran-ajaran yang terdapat dalam ajaran Islam bahwa kita
tidak boleh memerintah orang sebelum kita melaksanakan hal itu dan juga
sebaliknya.
Pondok pesantren merupakan wadah
penggemblengan santri dalam upaya untuk meneladani Rosullullah dan para
sahabatnya, dimana oleh Nabi, sahabat digambarkan bagaikan bintang di langit
yang senantiasa menerangi gelapnya malam. Sebagaimana dalam sebuah hadist
diungkapan berikut ini:
أَصْحَابِيْ
كَالنُّجُوْمِ فَبِأَيِّهِمْ اقْتَدَيْتُمْ اهْتَدَيْتُمْ
Artinya: “Sahabat-sahabatku adalah bagaikan
bintang-bintang (di langit), maka dengan siapapun dari mereka yang kalian
mengikutinya, niscaya kalian akan memperoleh petunjuk (kebenaran)”[45]
6.
Peluang Dan Tantangan Pendidikan Pondok Pesantren
Orientasi ke belakang atau salaf-oriented
masih jauh lebih kuat daripada orientasi ke depan dan ini tentu tercermin dalam
sistem pembelajaran dunia pesantren. Sehingga Prof. Abdurrahman mas’ud
mengusulkan di dalam sebuah seminar aswaja dan budaya yang digelar di
semarang, penggunaan slogan al-muhafadhahtu
‘ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah, agar dibalik
menjadi al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah wa al-muhafadhahtu ‘ala al-qadim
ash-shalih (Mentransfer nilai-nilai baru yang lebih baik dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai lama yang baik).[46]
Pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam yang paling variatif, seperti yang kemukakan oleh Mujamil
Qomar. Menurut beliau, dilihat dari segi keterbukaan terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi di luar, pesantren digolongkan menjadi dua yaitu pesantren
tradisional (salafi) dan pesantren modern (khalafi).[47]
Walaupun menurut dhofier, penggunaan
kedua istilah tersebut tidak tepat. Menurut dia istilah pesantren salafi
dan khalafi yang dipakai sekitar tahun 70-an sudah tidak relevan lagi,
karena lebih cenderung mempunyai makna negatif. Karena modernitas dan tradisi
adalah dua entitas yang perlu bersatu bagi kebutuhan umat Islam berpacu ke
depan.
Berbicara tentang tantangan dan
peluang, maka kedua jenis pesantren tersebut mempunyai variasi tantangan dan
peluang yang berbeda. Pesantren tradisional misalnya, kondisi manajemen
pesantren hingga hari ini dirasa sangat memprihatinkan, suatu keadaan yang
membutuhkan solusi dengan segera untuk menghindari ketidakpastian pengelolaan
yang berlarut-larut.[48]
Kenyataan ini menggambarkan bahwa
kebanyakan pesantren tradisional dikelola berdasarkan tradisi, bukan skil,
conceptual skill, maupun technical skill secara terpadu. Akibatnya,
tidak ada perencanaan yang matang, distribusi kekuasaan atau kewenangan yang
baik, dan sebagainya.[49]
Pesantren pada umumnya lebih
berorientasi pada masa lalu –meskipun hal ini tidak berlaku bagi semua
pesantren- dan kurang memberikan perhatian dan ruang secara khusus pada masa
depan. Pembelajaran yang hanya berorientasi pada masa lalu, jelas tidak akan
punya masa depan dan akan kehilangan relevansinya dengan konteks kedisinian dan
kekinian.[50]
Ruang rasio “common sense”,
belum diminati di dunia pesantren. Pengajaran yang melupakan aspek ini jelas
belum mampu melahirkan creativity dan curiocity, rasa ingin tahu.
Seperti apa yang diungkapkan oleh KH. MA. Sahal Mahfudz dalam karyanya thariqat
ah-hushul ‘ala ghayat al-wushul (2000), dimana beliau merintis upaya sosialisasi
“ruang akal-rasio” di komunitas nahdliyin.[51]
Budaya tulis menulis yang selama ini
menghilang dari dunia pesantren yang telah diwariskan tokoh-tokoh pesantren
semacam al-Bantani dan at-Turmasi harus dihidupkan kembali secara konsisten.
Bukankah surat pertama kali yang diwahyukan juga mengisyaratkan qalam,
alat tulis-menulis. Surat al-Alaq, surat yang pertama diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, adalah seruan pencerahan intelektual yang telah terbukti dalam
sejarah mampu mengubah peradaban manusia dari masa kegelapan
moral-spiritual-intelektual dan membawanya pada peradaban tinggi dibawah
petunjuk Illahi.[52]
Selama ini agaknya santri-santri
kita lebih disiapkan menjadi ‘abd Allah dari pada khalifat Allah.
Sebagai konsekuensinya santri lebih disiapkan sebagai penerus Islam
ritualistik, akrab dengan dunia ibadah mahdhah, individu pasif dengan
penekanan pada loyalitas kesalehan pribadi lupa dengan kesalehan sosial, serta
sistem pembelajaran yang lebih menekankan hukuman dari apresiasi santri seperti
yang pernah dilakukan kyai Dimyati at-Turmasi (w. 1934).[53]
Salah satu persoalan yang belum bisa
dijawab secara memuaskan oleh pesantren adalah persoalan aksesibilitas bagi
murid yang memiliki keterbatasan fisik seperti tuna-netra, tuna-rungu, dan
tuna-daksa. Keterbatasan infrastruktur pesantren umumnya disebabkan oleh
pertumbuhan pesantren dari sebuah lembaga kecil, yang kemudian tumbuh
perlahan-lahan, sehingga desain arsitekturalnya tampak tidak terencana.
Meningkatnya kesandaran kalangan pesantren tentang pendidikan sebagai hak asasi
warga negara menjadi awal penting bagi pesantren untuk menambahkan layanan bagi
warga masyarakat yang memiliki keterbatasan itu.[54]
7.
Metode pengajaran di pondok pesantren
Sebagai
lembaga pendidikan islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama,
sedangkan kajia atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa arab (kitab
kuning). Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah al-Qur’an dengan tajwid
dan tafsirnya, aqa’id dan ilmu kalam, fiqih dan usul fiqih, hadits dengan
musthalahah hadits, bahasa arab dengan ilmunya, tarikh, mantiq dan tasawuf.[55]
Adapun metode yang lazim digunakan
dalam pendidikan pesantren adalah sebagai berikut, yang oleh Mujamil Qomar dibagi
menjadi kategori tradisional dan kombinatif.
a.
Metode-metode tradisional
1) Wetonan, yakni suatu metode kuliah dimana
para santri mengikuti pelakaran dengan duduk mengelilingi kiai yang menerangkan
pelajaran. Santri menyiimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu.
Pelajaran diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah
melaksanakan shalat fardhu. Di jawa barat, metode ini sebut dengan bandongan,
sedangkan di Sumatera di sebut dengan halaqah.
Penerapan metode ini membuat santri bersikap pasif, sebab
keberlangsungan pengajaran didominasi oleh pengajar/ kyai. Santri tidak diberi
kesempatan untuk bertanya apalagi mengkritisi. Hal inilah yang perlu dirubah,
santri harus diberi kesempatan untuk sekedar bertanya atau mengkritisi,
sehingga hubungan interaksi terjadi dalam sebuah proses pembelajaran.
Metode ini merupakan hasil adaptasi dari metode pengajaran
agama yang berlangsung di Timur Tengah terutama Mekah dan Al-Azhar, Mesir. Hal
ini timbul dari hasil interaksi intelektual antara perintis (kyai) pesantren
dengan pendidikan yang berlangsung di sana.
2) Metode sorogan, yakni suatu
metode dimana santri menghadap kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab
yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling
sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini
menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri/ kendatipu
demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi
seorang dan ada kesempatan untuk tanggung jawab langsung.
3) Metode hafalan, yakni suatu metode dimana
santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.
Bahkan
dipesantren, keilmuan hanya dianggap sah dan kokoh bila dilakukan melalui
transmisi dan hafalan, baru kemudian menjadi keniscayaan. Lebih jauh lagi,
parameter kealiman seseorang dinilai berdasarkan kemampuan menghafal teks-teks.
4) Metode muhawarah, adalah
suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan bahasa arab yang diwajibkan
pesantren kepada santri selama mereka tinggal di pesantren. Frekuensi penerapan
metode ini di pesantren tidak ada keberagaman. Ada yang menerapkan hanya pada
kegiatan-kegiatan tertentu, tetapi ada beberapa pesantren yang mewajibkan
penggunaan metode ini kepada santrinya setiap hari.
b.
Metode-metode kombinatif
Sekarang pesantren mulai
mempertimbangkan dan mengambil alih metodik pendidikan nasional yang di
dalamnya mengalir paham-paham paedagogis yang bersumber di samping dari
pendidikan pribumi juga dari belanda maupun Amerika.
Akibat tuntutan zaman dan kebutuhan
masyaarakat disamping kemajuan dan perkembangan pendidikan di tanah air,
sebagian pesantren menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan pada lembaga
pendidikan formal, sedang sebagian lagi masih tetap bertahan pada metode
pengajaran yang lama.[56]
Betapapun masih terdapat model
pesantren yang hanya menerapkan metode
yang hanya bersifat tradisional saja, tetapi pesantren yang kombinasi berbagai metode dengan sistem
klasikal dalam bentuk madrasah,
tampaknya belakangan ini menjadi semacam mode. Akibatnya situasi dalam proses
belajar mengajar menjadi bervariasi dan menyebabkan santri bertambah interest
akibat aplikasi berbagai metode secara kombinatif.
DAFTAR PUSTAKA
Abasri, et. al. “Sejarah
Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Nusantara; Surau, Meunasah,
Pesantren Dan Madrasah” Dalam Samsu Nizar (Editor), Sejarah Pendidikan Islam;
Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulallah Sampai Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2003
Ahmad Muthohar, Ideologi
Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidika, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007
Al Maraghi, Ahmad Mustofa, Tafsir
al Maraghi, Semarang: CV.Toha Putra, 1971
Alfa, Erwin
Fauzia, “Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas” Tesis Pasca
Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, t.d
Aly, Hery Noer, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Departemen Agama RI, Al-‘Aliyy;
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2005
Dhofier, Zamakhsyari., Tradisi
Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia.
Jakarta: LP3ES, 2011
Djamil, Abdul,., Dalam
Pengantar Ideologi Pendidikan Pesantren Pesantren Di Tengah Arus
Ideologi-Ideologi Pendidikan. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007
M.Dian Nafi (Eds), Praksis
Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta: Instite For
Training And Development, MA, 2007
Mazhahiri, Husain, Pintar
Mendidik Anak, Terjemah Segaf Abdillah Assegaf, dkk., Jakarta: Lentera
Basritama, 2001
Muthohar, Ahmad, Ideologi
Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007
Nizar, Samsul, Sejarah
Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulallah Sampai
Indonesi, Jakarta: Kencana, 2003
Qomar, Mujamil, Manajemen
Pendidikan Islam, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2007
Qomar,
Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam, Penerbit Erlangga, 2007
Qomar, Mujamil, Pesantren;
Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2005
Quthb, Muhammad, Sistem
Pendidikan Islam, Terj. Drs. Salaman Harun, Bandung: al-Ma’arif, 1984
Said Agil Siraj et. AL. Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan
Dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999
Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan
Tradisi; Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2001
[1] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulallah Sampai
Indonesi, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 16
[2] Mujamil Qomar, Pesantren;
Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2005), hlm. 140
[3] Erwin Fauzia Alfa, “Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib
Al-Attas” Tesis Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, hlm. 1, t.d.
[4] Departemen Agama RI, Al-‘Aliyy; Al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm.434, cetakan ke 5
[6] Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,
(Penerbit Erlangga, 2007), hlm.,42-43
[7] M.Dian Nafi (Eds), Praksis Pembelajaran Pesantren,
(Yogyakarta: Instite For Training And Development, MA, 2007 ), Cet. 1, hlm. 152
[8] Prof. Dr. H. Abdul
Djamil, MA., Dalam Pengantar Ideologi Pendidikan Pesantren Pesantren Di
Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan. (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2007), hlm., vii
[9] Zamakhsyari Dhofier., Tradisi
Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia.
(Jakarta: LP3ES, 2011), hlm., 38
[16] Dian, Op. Cit., hlm., ix
[18] Said Agil Siraj et.
AL. Pesantren Masa Depan; Wacana
Pemberdayaan Dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),
cet. 1, hlm. 13
[20] Ahmad Muthohar, Ideologi
Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidika, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2007), hlm. 12
[22] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan
Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 6, cet. 1
[27] Ahmad Muthohar,
Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus Ideologi-Ideologi
Pendidikan, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), hlm., 32
[40] Husain Mazhahiri, Pintar
Mendidik Anak, Terjemah Segaf Abdillah Assegaf, dkk., (Jakarta: Lentera
Basritama, 2001), cet. iv, hlm. 319
[44] Muhammad Quthb, Sistem
Pendidikan Islam, Terj. Drs. Salaman Harun, (Bandung: al-Ma’arif, 1984),
hlm.325
[53] Ibid.
[54] Ibid., hlm. 156
[55] Abasri, et. al. “Sejarah
Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Nusantara; Surau, Meunasah,
Pesantren Dan Madrasah” Dalam Samsu Nizar (Editor), Sejarah Pendidikan Islam;
Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulallah Sampai Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2003), hlm. 287
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar Anda Disini