Kamis, 06 Maret 2014

METODE MENGAJAR DI PONDOK PESANTREN


A.  Pendahuluan
Metode pengajaran ialah cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsung pengajaran. Oleh karena itu, peranan metode mengajar sebagai alat untuk menciptakan proses mengajar dan belajar sangat penting. Dengan metode ini diharapkan tumbuh berbagai kegiatan belajar siswa sehubungan dengan kegiatan mengajar guru. Dengan kata lain, terciptalah interaksi edukatif. Dalam interaksi ini guru-guru berperan sebagai penggerak atau pembimbing, sedangkan siswa berperansebagai penerima atau yang dibimbing. Proses ini akan berjalan baik kalau siswa banyak aktif dibandingkan dengan guru. Oleh karenanya metode mengajar yang baik adalah metode yang dapat menumbuhkan kegiatan belajar siswa.[1]
Dalam  rangkaian sistem pengajaran, metode menempati urutan sesudah materi. Penyampaian materi tidak berarti apapun tanpa melibatkan metode. Metode selalu mengikuti materi, dalam arti menyesuaikan dengan bentuk dan coraknya, sehingga metode mengalami transformasi bila materi yang disampaikan berubah. Akan tetapi, materi yang sama bisa dipakai metode yang berbeda-beda.[2]
B.  Rumusan Masalah
a.         Apa pengertian pendidikan pondok pesantren?
b.        Bagaimana sistem pendidikan pondok pesantren?
c.         Apa saja komponen-komponen pendidikan di pondok pesantren?
d.        Metode apa saja yang digunakan dalam pembelajaran di pondok pesantren?


Assalamu'alaikum wr wb....

ANDA MAHASISWA??? BUTUH BIAYA UNTUK KULIAH?..BUTUH UANG UNTUK JAJAN??
ATAU PENGEN MEMBANTU ORANG TUA??....TEPAT!!!!!DISINI TEMPATNYA....
sebuah INFO UNTUK KESUKSESAN ANDA, ada di SINI : ...ADA PERMASALAHAN DALAM EKONOMI ANDA???.. ATAU SEKEDAR BUTUH TAMBAHAN PENGHASILAN??..butuh  modal untuk usaha anda??? DI SINI SOLUSINYA... Klik:"UBAH HIDUP KITA"
ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala benar-benar memuliakan orang-orang yang bersedekah. Ia menjanjikan banyak keutamaan dan balasan yang menakjubkan bagi orang-orang yang gemar bersedekah. Sungguh keajaiban sedekah ini memiliki keutamaan yang besar.  MAKA KAMI MENYEDIAKAN SISTEM UNTUK ANDA DI SINI...KESEMPATAN EMAS BUAT MERUBAH EKONOMI KITA MENJADI LEBIH BAIK ...hanya di SEDEKAH MERUBAH HIDUP KITA
Allah berfirman:
                    إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Qs. Al Hadid, Ayat: 18)..
JADI BUKTIKAN LAH DI SINI...KARENA JANJI ALLAH PASTI BENARNYA...CUKUP bersedekah
Rp. 50.000,- dan pasti Allah akan melipat gandakannya...BURUAN DAFTAR...!!!!! Berapa hari uang sebesar RP.50.000,- akan bertahan dalam saku anda???... Maka buatlah berlipat GANDA dengan bergabung di http://www.kitaberamal.com/?id=darnoto
Banyak keutamaan ini seakan-akan seluruh kebaikan terkumpul dalam satu amalan ini, yaitu sedekah. Maka, sungguh mengherankan bagi orang-orang yang mengetahui dalil tersebut dan ia tidak terpanggil hatinya serta tidak tergerak tangannya untuk banyak bersedekah. Semoga kita senantiasa diberi nikmat dan kesadaran untuk bersedekah.
JADI SEGERA BERGABUNG DI....http://www.kitaberamal.com/?id=darnoto
Wassalamu'alaikum wr wb.....

BAB II.  
 PEMBAHASAN
1.        Pendidikan Pondok Pesantren
Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat belajar menghadapi alam semesta demi mempertahankan hidupnya. Ditinjau dari segi filsafat pendidikan, memang manusia adalah yang layak dan memiliki potensi untuk dididik. Mungkin karena itu pula, alasan Islam menempatkan pendidikan dalam kedudukan yang sangat tinggi. Bahkan dalam beberapa hal, pendidikan telah masuk dalam doktrin ajaran Islam.[3]
Seperti yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-Mujadalah, bahwa dengan pendidikan, derajat manusia akan diunggulkan oleh Allah SWT.
...... يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ امَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتٍ ......الاية (المجادلة: ١١)
Artinya;
….Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ….. Q.S. al- Mujadalah: 11[4]
Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang penting dan tinggi. Hal ini dapat pula kita lihat di dalam al-Quran, yaitu pada lima ayat pertama dalam surat al-Alaq yang dimulai dengan perintah membaca. Al-Maraghi[5] menafsirkan ayat tersebut dalam bentuk berikut “Jadilah engkau orang yang bisa membaca berkat kekuasaan dan kehendak Allah yang telah menciptakanmu. Kerjakanlah apa yang Aku perintahkan yaitu membaca”. Perintah ini diulang-ulang sebab membaca tidak akan meresap ke dalam jiwa, kecuali setelah diulang-ulang dan dibiasakan. Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan tentang keutamaan membaca, menulis dan ilmu pengetahuan.
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam, sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh umat Islam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai aset, pendidikan Islam yang tersebar di berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menata dan mengelolahnya sesuai dengan sistem pendidikan nasional.[6]
Kurang lengkap rasanya kalau membicarakan pendidikan Islam di Indonesia tanpa memasukkan nama pesantren. Sejumlah pakar meyakini bahwa ia merupakan bentuk pendidikan Islam yang Indegenous di negeri ini. Bahkan karena keasliannya bentuk pendidikan ini, Belanda yang telah melakukan penjajahan selama 300-an tahun tidak mampu menimbulkan imitasi budaya di lingkungan pesantren ini.[7] Eksistensi pendidikan model pesantren ini, telah hidup dan berada dalam budaya bangsa Indonesia selama berabad-abad yang silam dan tetap bertahan hingga sekarang.[8]
Pendidikan pondok pesantren bahkan telah diakui oleh sarjana-sarjana barat seperti Van Den Berg, Hurgronje dan Geertz, sangat berpengaruh dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan orang-orang perdesaan di Indonesia.[9]
Walaupun di Indonesia berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi IAIN, namun secara luas, kekuatan pendidikan Islam di Indonesia masih berada pada sistem pendidikan pesantren. Hal ini dibuktikan dengan dominasi ulama’-ulama’ besar yang mempunyai mutu tinggi, yang sangat digemari masyarakat terutama dalam kegiatan pengajian umum yang diasuhnya.[10]
Keberhasilan para pemitmpin pesantren  dalam melahirkan sejumlah besar “ulama’” yang berkualitas tinggi adalah karena metode pendidikan yang dikembangkan oleh para kyai berupa bimbingan pribadi yang menerapkan penguasaan kualitatif.[11]
Dalam perkembangan terakhir ini telah terbukti bahwa dari pesantren telah lahir banyak pemimpin bangsa dan pemimpin masyarakat. Pesantren juga telah memberikan nuansa dan mewarnai corak dan pola kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, pesantren juga merupakan benteng pertahanan yang kokoh dalam menghadapi dahsyatnya gelombang budaya dan peradaban yang tidak sesuai dengan nilai-nilai illahiyyah. Sejarah telah mencatat prestasi pesantren sebagai pembentuk kultur, cultural broker (istilah Geertz), maupun sebagai benteng  pertahanan bagi nilai-nilai religius.[12]
Ronald Lukens Bull dalam penelitian monumentalnya telah mengindikasikan keuletan dan ketangguhan dunia pesantren dalam merespons globalisasi. Bahwa dalam rangka menyikapi modernisasi dan globalisasi  ternyata kaum pesantren memilih dunia pendidikan sebagai alat yang paling utama untuk penegakan jihad damai (peacefull jihad). Dengan jihad damai di jalan Allah melalui sistem pendidikan pesantren, komunitas ini mencoba memenuhi tuntutan dan kebutuhan Indonesia modern dan globalisasi dengan tetap bersandar pada stabilitas dan identitas agama.[13]
Filosofi pendidikan pesantren didasarkan atas hubungan yang bermakna antara manusia, ciptaan atau mahkluk, dan Allah SWT. Hubungan ini baru bermakna jika bermuatkan atau menghasilkan keindahan dan keagungan.[14]
Pesantren kini telah mampu membenahi dirinya untuk tetap memiliki peranan dalam membangun masa depan Indonesia. Mereka tidak mendambakan, apalagi melindungi pandangan hidup tradisional menjadi suatu sistem yang tertutup dan memalingkan diri dari proses modernisasi.[15] Di pesantren pembelajaran selalu mengarah pada pengembangan intelektualitas berpadu dengan pembangunan karakter.[16]
2.        Pengertian Pondok Pesantren
Lembaga pendidikan Pondok pesantren sebelum tahun 1960-an, lebih dikenal sebagai pondok. Istilah ini menurut Zamakhsyari Dhofier lebih dikarenakan asrama-asrama atau tempat tinggal yang dihuni para santri sebagian besar terbuat dari bambu. Mungkin juga kata pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti asrama atau hotel.[17]
Sementara menurut KH. Abdurrahman wahid, pesantren diartikan sebagai suatu tempat yang dihuni oleh para santri. Pernyataan ini menjunjukkan makna pentingnya ciri-ciri pesantren sebagai sebuah lingkungan pendidikan yang integral. Sebagai mana beliau mengumpamakan layaknya sebuah akademi militer.[18]
Perkataan pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe- dan akhiran –an yang berarti tempat tinggal para santri. Profesror Johns mengatakan bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang artinya guru mengaji, sedang C. C. Berg berpendapat bahwa kata santri berasal dari kata shastri berasal dari bahasa India yang berarti buku-buku suci, buku-buku keagamaan dan buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[19]
Secara terminologis banyak batasan yang diberikan oleh para ahli, M. Arifin misalnya, mendefinisikan pesantren sebagai sebuah pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar.[20]
Dan di dalam beberapa literatur disebutkan bahwa  pondok pesantren merupakan hasil modifikasi dari lembaga pendidikan agama Hindu yang bernama mandala yang kemudian diberi sentuhan-sentuhan Islam.
Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat, dan sekaligus menjadi simpul budaya, maka itulah pondok pesantren.[21]
Pesantren, walaupun pada dasarnya adalah lembaga pendidikan Islam, namun demikian ia mempunyai fungsi tambahan yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi pendidikan tersebut. Ia merupakan sarana informasi, komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakat, tempat pemupukan solidaritas masyarakat, dan seterusnya.[22]
3.        Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang sistemik. Di dalamnya memuat tujuan, nilai dan berbagai unsur yang bekerja secara terpadu satu sama lain dan tidak terpisahkan. Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “sistema”, yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Dengan demikian sistem pendidikan adalah totalitas interaksi seperangkat unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama secara terpadu dan saling melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan.[23]
Sinkronisasi unsur-unsur dan nilai-nilai dalam sistem pendidikan pesantren merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dari yang lain. Sistem pendidikan pesantren didasari, digerakkan, dan diarahkan sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada dasar Islam yang membentuk pandangan hidup. Pandangan hidup yang dijadikan acuan dalam menetapkan tujuan pendidikan. Dengan demikian, sistem pendidikan pesantren didasarkan atas dialektika  antara kepercayaan terhadap ajaran agama yang diyakini memiliki nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki kebenaran relatif.[24]
Perkembangan dunia  telah melahirkan suatu kemajuan zaman yang modern perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosio-kultural seringkali membentur pada aneka kemapanan. Dan berakibat pada keharusan untuk mengadakan usaha kontekstualisasi bangunan-bangunan sosio-kultural dengan dinamika modernisasi, tak terkecuali dengan sistem pendidikan pesantren. Karena itu sistem pendidikan pesantren harus selalu melakukan upaya rekonstruksi pemahaman tentang ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survive.[25]
Keharusan untuk rekonstruksi sebenarnya sudah dimaklumi. Sebagai mana adanya kaidah  al-muhafadhahtu ‘ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah. Kaidah ini merupakan legalitas yang kuat atas segala upaya rekonstruksi. Kebebeasan membentuk model pesantren merupakan keniscayaan, asalkan tidak terlepas dari bingkai al-ashlah (lebih baik). Begitu pula, ketika dunia pesantren diharuskan mengadakan rekonstrusi sebagai konsekuensi dari kemajuan dunia modern, maka aspek al-ashlah menjadi kata kunci yang harus dipegang.[26]
4.        Komponen-Komponen Pendidikan Pondok Pesantren
Komponen dasar yang menjadikan sebuah lembaga pendidikan disebut pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier ada lima komponen diantaranya adalah sebagai berikut:
1.                   Kyai
Sebutan kyai sangat beragam, antara lain: ajengan, elang di Jawa Barat; tuan guru, tuan syaikh di Sumatra. Kyai adalah tokoh karismatik yang diyakini memiliki pengetahuan agama yang luas sebagai pemimpin dan pemilik pesantren. Kyai merupakan figur sentral yang merencanakan, menyelenggarakan, dan mengendalikan seluruh pelaksanaan kegiatan pendidikan di pesantren.[27]
Kyai terutama yang tinggal di perdesaan merupakan penyalur tradisi pesantren yang paling efektif dan pendukung utama bagi pemimpin-pemimpin besar dalam usahanya memelihara dan menyebarkan ideologi Islam tradisional di Jawa.[28]
Memang betul bahwa lembaga-lembaga pesantren terikat kuat dengan formulasi eksplisit Islam tradisional. Tetapi para kyai yang menjadi penghubung antara Islam Tradisional dan dunia nyata ini juga meupakan bagian nyata kehidupan bangsa Indonesia. Kedudukan ganda kyai ini memang unik, dan menjadi inti dari kualitas yang menonjol. Memang benar, kedudukan ganda ini pula yang seringkali menjadi sumber tragedi yang dialami oleh para kyai; tetapi justru pada kedudukan ganda ini pula terletak keagungan mereka.[29]
Kedudukan ganda ini memang menyulitkan kyai sebagai pimpinan pesantren; tetapi para kyai adalah pemimpin-pemimpin  kreatif yang selalu berhasil mengembangkan pesantren dalam dimensi-dimensi yang baru; dan panorama yang berwajah majemuk kehidupan pesantren sekarang ini, adalah merupakan petunjuk adanya kreasi yang jenius para kyai.[30]
2.                   Pondok
Pondok pesantren pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana siswanya tinggal bersama kyai dalam satu komplek yang sama. Ia mendapat bimbingan dari kyai tersebut dalam waktu yang relatif terus menerus dalam waktu sepanjang hari.
Pondok, asrama bagi para santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negara-negara lain. Sistem pendidikan surau di daerah Minangkabau atau Dayah di Aceh pada dasarnya sama dengan sistem pondok, yang berbeda hanya namanya.[31]
Di jawa, besarnya pondok tergantung dari jumlah santri. Pesantren besar yang memiliki santri lebih dari 3.000 ada yang memiliki gedung bertingkat tiga yang terbuat dari tembok; semua ini biasanya dibiayai dari para santri dan sumbangan masyarakat.[32]
Ada tiga alasan utama mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri:
a.                   Untuk menggali ilmu sang kyai secara utuh, maka santri-santri yang kebanyakan berdomisili jauh dari pesantren membutuhkan tempat menginap dalam kurun waktu yang tidak singkat.
b.                   Sebagian besar, pesantren berada  di daerah perdesaan yang belum tersedia tempat-tempat kos, penginapan, dan juga tidak tersedia perumahan (akomodasi) untuk menampung santri-santri.
c.                   Munculnya sikap timbal balik, sehingga antara kyai dan santri terjalin hubungan laksana anak dan bapak yang keduanya saling membutuhkan untuk selalu berdampingan. Seorang kyai dapat membimbing santri secara lebih tanggung jawab, sementara santri dapat membantu kyai-nya untuk dapat berbakti sebagai wujud  timbal balik dari ia memperoleh ilmu.[33]
3.                   Santri
Santri merupakan elemen pokok dalam sebuah pesantren, sebagaimana kata pesantren itu sendiri merupakan wujud dari penamaan lembaga pendidikan yang mengambil kata santri itu sendiri.[34] Seorang ulama’pun dikatakan sebagai seorang kyai (di jawa), dikarenakan memiliki santri yang mempelajari kitab-kitab Islam klasik di dalam pesantrennya.[35]
Dhofier mengklasifikasikan santri menjadi dua, yaitu:
a.                   Santri mukim, yaitu murid-murid yang dari jauh maupun dari dekat pesantren yang menetap untuk waktu yang lama.
b.                   Santri kalong, yaitu murid-murid dari desa sekitar pesantren dan mereka tidak menetap di pesantren tersebut.
Biaya untuk belajar di pesantren pada waktu dulu mahal (baik untuk pelajaran, ongkos hidup, maupun kitab-kitab yang harus dibeli), bahkan kadang harus ditanggung oleh keluarga dekat.[36] Apakah hal tersebut masih berlaku untuk saat ini? Seperti yang penulis cermati bahwa pendidikan pesantren memang merupakan pendidikan yang membutuhkan biaya tidak sedikit.
Tetapi anggapan diatas memang ada benarnya karena sebagian besar santri yang menuntut ilmu di pesantren kebanyakan merupakan dari keluarga yang berkecukupan. Biaya pendidikan di pesantren yang santrinya tidak bisa nyambi untuk bekerja, maka hal itu menjadi beban tersendiri bagi keluarganya. Tetapi hal ini perlu kajian lebih lanjut untuk mendapatkan data yang lebih akurat.
Walaupun demikian biaya pendidikan di pondok pesantren jauh lebih terjangkau, hal ini terbukti bahwa sebagian besar santri yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren adalah kalangan masyarakat dengan taraf ekonomi menengah ke bawah. Walaupun akhir-akhir ini sudah mulai banyak santri yang berasal dari kalangan ekonomi atas, tetapi prosentasenya masih relatif kecil.
4.                   Masjid
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain, kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada masjid sejak Masjid Qubba didirikan dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar pada sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam. Dimanapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi, dan kultural. Hal ini berlangsung selama 13 abad.[37]
Berdasarkan pengamatan peneliti tidak semua pondok pesantren mempunyai fasilitas masjid, terutama pesantren-pesantren yang masuk kategori kecil. Pesantren semacam ini kadang hanya memiliki musholla, bahkan ada yang mempergunakan aula (tempat yang sedikit lebar) untuk difungsikan sebagai pengganti peran masjid.
5.                   Pengajaran Kitab Islam Klasik
Pengajaran kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren merupakan kitab-kitab karangan ulama’ yang menganut faham syafi’i. Diantara kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren, menurut Dhofier dapat digolongkan menjadi 8 kelompok jenis pengengetahuan: 1. Nahwu (syntax) dan shorof (morfologi), 2. Fiqh, 3. Ushul fiqh, 4. Hadits, 5. Tafsir, 6. Tauhid, 7. Tasawuf dan etika, 8. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.[38]
Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh dan tasawuf. Kesemuanya dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok tingkatan, yaitu: 1. Kitab dasar, 2. Kitab tingkat menengah, 3. Kitab tingkat tinggi.[39]

5.                   Keteladanan Dalam Pendidikan Pondok Pesantren
Pendidikan merupakan usaha membentuk kepribadian yang baik dan utama, oleh karena itu perlu metode pendidikan untuk mencapai tujuan mulia tersebut. Huzaimin Mazhahiri berpendapat, secara umum pendidikan terbagi dalam dua macam, yaitu:
1.                   Pendidikan dengan ucapan dan omongan atau pendidikan teoritis dengan pemahaman dan pemikiran.
2.                   Pendidikan dengan amal dan sikap atau pendidikan amaliah (praktek nyata) yang berkaitan dengan sikap dan perbuatan.
Pendidikan secara amaliah (praktek nyata), pada dasarnya sejalan dengan aturan meniru. Pendidikan model ini memiliki dampak sangat dalam dan berpengaruh besar dari pada pendidikan secara teori. Misalnya dalam kehidupan keluarga, kedua orang tua bisa memberikan pendidikan praktek nyata dengan memberikan contoh dengan sikap, perbuatan dan panutan yang baik bagi anak-anaknya, dalam kehidupan sekolah guru atau seorang pendidik bisa memberikan contoh dan panutan yang baik mengenai bagaimana harus bersikap, berkata dan berbicara dengan orang lain. Dengan kata lain pendidikan dengan praktek nyata adalah memberi contoh dengan cara bersikap dan beramal.[40]
Dalam pendidikan Islam, metode pendidikan seperti ini juga disebut pendidikan dengan teladan yang menurut Drs. Hery Noer Aly, MA., berarti pendidikan dengan memberi contoh baik berupa tingkah laku, sifat, cara berpikir, dan sebagainya.[41] Banyak ahli pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan merupakan metode yang paling efektif, sukses dan berhasil guna.[42]
Hal itu karena dalam belajar, orang pada umumnya lebih mudah menangkap yang kongkrit dari pada yang abstrak. Pendidik kadang kala merasa mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun anak akan merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila ia melihat pendidiknya tidak memberi contoh tentang pesan yang disampaikannya.
Untuk mencapai pada pendidikan dengan metode keteladanan yang baik dan tepat khususnya pada pendidikan Islam, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik:
1.                   Mengarahkan identifikasi pada tujuan pendidikan Islam.
2.                   Mempersiapkan dirinya sebagai contoh identifikasi, dan
3.                   Menyiapkan atau menciptakan tokoh identifikasi sesuai dengan tujuan pendidikan Islam baik tokoh sejarah maupun tokoh cerita baik melalui gambar, lisan ataupun tulisan.[43]
Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan dengan keteladanan merupakan metode pendidikan yang paling efektif dan sukses.[44] Hal ini sesuai dengan ajaran-ajaran yang terdapat dalam ajaran Islam bahwa kita tidak boleh memerintah orang sebelum kita melaksanakan hal itu dan juga sebaliknya.
Pondok pesantren merupakan wadah penggemblengan santri dalam upaya untuk meneladani Rosullullah dan para sahabatnya, dimana oleh Nabi, sahabat digambarkan bagaikan bintang di langit yang senantiasa menerangi gelapnya malam. Sebagaimana dalam sebuah hadist diungkapan berikut ini:
أَصْحَابِيْ كَالنُّجُوْمِ فَبِأَيِّهِمْ اقْتَدَيْتُمْ اهْتَدَيْتُمْ
Artinya:           “Sahabat-sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang (di langit), maka dengan siapapun dari mereka yang kalian mengikutinya, niscaya kalian akan memperoleh petunjuk (kebenaran)”[45]
6.                   Peluang Dan Tantangan Pendidikan Pondok Pesantren
Orientasi ke belakang atau salaf-oriented masih jauh lebih kuat daripada orientasi ke depan dan ini tentu tercermin dalam sistem pembelajaran dunia pesantren. Sehingga Prof. Abdurrahman mas’ud mengusulkan di dalam sebuah seminar aswaja dan budaya yang digelar di semarang,  penggunaan slogan al-muhafadhahtu ‘ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah, agar dibalik menjadi al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah wa al-muhafadhahtu ‘ala al-qadim ash-shalih (Mentransfer nilai-nilai baru yang lebih baik dengan tetap mempertahankan nilai-nilai lama yang baik).[46]
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang paling variatif, seperti yang kemukakan oleh Mujamil Qomar. Menurut beliau, dilihat dari segi keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di luar, pesantren digolongkan menjadi dua yaitu pesantren tradisional (salafi) dan pesantren modern (khalafi).[47]
Walaupun menurut dhofier, penggunaan kedua istilah tersebut tidak tepat. Menurut dia istilah pesantren salafi dan khalafi yang dipakai sekitar tahun 70-an sudah tidak relevan lagi, karena lebih cenderung mempunyai makna negatif. Karena modernitas dan tradisi adalah dua entitas yang perlu bersatu bagi kebutuhan umat Islam berpacu ke depan.
Berbicara tentang tantangan dan peluang, maka kedua jenis pesantren tersebut mempunyai variasi tantangan dan peluang yang berbeda. Pesantren tradisional misalnya, kondisi manajemen pesantren hingga hari ini dirasa sangat memprihatinkan, suatu keadaan yang membutuhkan solusi dengan segera untuk menghindari ketidakpastian pengelolaan yang berlarut-larut.[48]
Kenyataan ini menggambarkan bahwa kebanyakan pesantren tradisional dikelola berdasarkan tradisi, bukan skil, conceptual skill, maupun technical skill secara terpadu. Akibatnya, tidak ada perencanaan yang matang, distribusi kekuasaan atau kewenangan yang baik, dan sebagainya.[49]
Pesantren pada umumnya lebih berorientasi pada masa lalu –meskipun hal ini tidak berlaku bagi semua pesantren- dan kurang memberikan perhatian dan ruang secara khusus pada masa depan. Pembelajaran yang hanya berorientasi pada masa lalu, jelas tidak akan punya masa depan dan akan kehilangan relevansinya dengan konteks kedisinian dan kekinian.[50]
Ruang rasio “common sense”, belum diminati di dunia pesantren. Pengajaran yang melupakan aspek ini jelas belum mampu melahirkan creativity dan curiocity, rasa ingin tahu. Seperti apa yang diungkapkan oleh KH. MA. Sahal Mahfudz dalam karyanya thariqat ah-hushul ‘ala ghayat al-wushul (2000), dimana beliau merintis upaya sosialisasi “ruang akal-rasio” di komunitas nahdliyin.[51]
Budaya tulis menulis yang selama ini menghilang dari dunia pesantren yang telah diwariskan tokoh-tokoh pesantren semacam al-Bantani dan at-Turmasi harus dihidupkan kembali secara konsisten. Bukankah surat pertama kali yang diwahyukan juga mengisyaratkan qalam, alat tulis-menulis. Surat al-Alaq, surat yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, adalah seruan pencerahan intelektual yang telah terbukti dalam sejarah mampu mengubah peradaban manusia dari masa kegelapan moral-spiritual-intelektual dan membawanya pada peradaban tinggi dibawah petunjuk Illahi.[52]
Selama ini agaknya santri-santri kita lebih disiapkan menjadi ‘abd Allah dari pada khalifat Allah. Sebagai konsekuensinya santri lebih disiapkan sebagai penerus Islam ritualistik, akrab dengan dunia ibadah mahdhah, individu pasif dengan penekanan pada loyalitas kesalehan pribadi lupa dengan kesalehan sosial, serta sistem pembelajaran yang lebih menekankan hukuman dari apresiasi santri seperti yang pernah dilakukan kyai Dimyati at-Turmasi (w. 1934).[53]
Salah satu persoalan yang belum bisa dijawab secara memuaskan oleh pesantren adalah persoalan aksesibilitas bagi murid yang memiliki keterbatasan fisik seperti tuna-netra, tuna-rungu, dan tuna-daksa. Keterbatasan infrastruktur pesantren umumnya disebabkan oleh pertumbuhan pesantren dari sebuah lembaga kecil, yang kemudian tumbuh perlahan-lahan, sehingga desain arsitekturalnya tampak tidak terencana. Meningkatnya kesandaran kalangan pesantren tentang pendidikan sebagai hak asasi warga negara menjadi awal penting bagi pesantren untuk menambahkan layanan bagi warga masyarakat yang memiliki keterbatasan itu.[54]

7.         Metode pengajaran di pondok pesantren
Sebagai lembaga pendidikan islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan kajia atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa arab (kitab kuning). Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah al-Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqa’id dan ilmu kalam, fiqih dan usul fiqih, hadits dengan musthalahah hadits, bahasa arab dengan ilmunya, tarikh, mantiq dan tasawuf.[55]
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren adalah sebagai berikut, yang oleh Mujamil Qomar dibagi menjadi kategori tradisional dan kombinatif.
a.         Metode-metode tradisional
1)      Wetonan, yakni suatu metode kuliah dimana para santri mengikuti pelakaran dengan duduk mengelilingi kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyiimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan shalat fardhu. Di jawa barat, metode ini sebut dengan bandongan, sedangkan di Sumatera di sebut dengan halaqah.
Penerapan metode ini membuat santri bersikap pasif, sebab keberlangsungan pengajaran didominasi oleh pengajar/ kyai. Santri tidak diberi kesempatan untuk bertanya apalagi mengkritisi. Hal inilah yang perlu dirubah, santri harus diberi kesempatan untuk sekedar bertanya atau mengkritisi, sehingga hubungan interaksi terjadi dalam sebuah proses pembelajaran.
Metode ini merupakan hasil adaptasi dari metode pengajaran agama yang berlangsung di Timur Tengah terutama Mekah dan Al-Azhar, Mesir. Hal ini timbul dari hasil interaksi intelektual antara perintis (kyai) pesantren dengan pendidikan yang berlangsung di sana.
2)      Metode sorogan, yakni suatu metode dimana santri menghadap kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri/ kendatipu demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanggung jawab langsung.
3)       Metode hafalan, yakni suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.
Bahkan dipesantren, keilmuan hanya dianggap sah dan kokoh bila dilakukan melalui transmisi dan hafalan, baru kemudian menjadi keniscayaan. Lebih jauh lagi, parameter kealiman seseorang dinilai berdasarkan kemampuan menghafal teks-teks.
4)      Metode muhawarah, adalah suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan bahasa arab yang diwajibkan pesantren kepada santri selama mereka tinggal di pesantren. Frekuensi penerapan metode ini di pesantren tidak ada keberagaman. Ada yang menerapkan hanya pada kegiatan-kegiatan tertentu, tetapi ada beberapa pesantren yang mewajibkan penggunaan metode ini kepada santrinya setiap hari.
   
b.         Metode-metode kombinatif
Sekarang pesantren mulai mempertimbangkan dan mengambil alih metodik pendidikan nasional yang di dalamnya mengalir paham-paham paedagogis yang bersumber di samping dari pendidikan pribumi juga dari belanda maupun Amerika.
Akibat tuntutan zaman dan kebutuhan masyaarakat disamping kemajuan dan perkembangan pendidikan di tanah air, sebagian pesantren menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan pada lembaga pendidikan formal, sedang sebagian lagi masih tetap bertahan pada metode pengajaran yang lama.[56]
Betapapun masih terdapat model pesantren yang hanya menerapkan  metode yang hanya bersifat tradisional saja, tetapi pesantren yang   kombinasi berbagai metode dengan sistem klasikal dalam bentuk  madrasah, tampaknya belakangan ini menjadi semacam mode. Akibatnya situasi dalam proses belajar mengajar menjadi bervariasi dan menyebabkan santri bertambah interest akibat aplikasi berbagai metode secara kombinatif.




DAFTAR PUSTAKA

Abasri, et. al. “Sejarah Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Nusantara; Surau, Meunasah, Pesantren Dan Madrasah” Dalam Samsu Nizar (Editor), Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulallah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2003
Ahmad Muthohar, Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidika, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007
Al Maraghi, Ahmad Mustofa, Tafsir al Maraghi, Semarang: CV.Toha Putra, 1971
Alfa, Erwin Fauzia, “Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas” Tesis Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, t.d
Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Departemen Agama RI, Al-‘Aliyy; Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2005
Dhofier, Zamakhsyari., Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2011
Djamil, Abdul,., Dalam Pengantar Ideologi Pendidikan Pesantren Pesantren Di Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007
M.Dian Nafi (Eds), Praksis Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta: Instite For Training And Development, MA, 2007
Mazhahiri, Husain, Pintar Mendidik Anak, Terjemah Segaf Abdillah Assegaf, dkk., Jakarta: Lentera Basritama, 2001
Muthohar, Ahmad, Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulallah Sampai Indonesi, Jakarta: Kencana, 2003
Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan  Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007
Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam, Penerbit Erlangga, 2007
Qomar, Mujamil, Pesantren; Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005
Quthb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Drs. Salaman Harun, Bandung: al-Ma’arif, 1984
Said Agil Siraj et. AL.  Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan Dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999
Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2001



[1] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulallah Sampai Indonesi, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 16
[2] Mujamil Qomar, Pesantren; Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), hlm. 140
[3] Erwin Fauzia Alfa, “Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas” Tesis Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, hlm. 1, t.d.
[4] Departemen Agama RI, Al-‘Aliyy; Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2005), hlm.434, cetakan ke 5
[5] Ahmad Mustofa Al Maraghi, Tafsir al Maraghi (Semarang: CV.Toha Putra, 1971), 327-9.
[6] Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Penerbit Erlangga, 2007), hlm.,42-43
[7] M.Dian Nafi (Eds), Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Instite For Training And Development, MA, 2007 ), Cet. 1, hlm. 152
[8] Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA., Dalam Pengantar Ideologi Pendidikan Pesantren Pesantren Di Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan. (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), hlm., vii
[9] Zamakhsyari Dhofier., Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm., 38
[10] Ibid., hlm., 45
[11] Ibid.,
[12] Ibid., hlm., 100
[13] Ibid.,
[14] Dian, Op. Cit., hlm. 9
[15] Dhofier, Op. Cit., hlm. 275
[16] Dian, Op. Cit., hlm., ix
[17] Ibid., hlm. 41
[18] Said Agil Siraj et. AL.  Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan Dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet. 1, hlm. 13
[19] Ibid.,
[20] Ahmad Muthohar, Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidika, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), hlm. 12
[21] Dian, Op. Cit., hlm. 11
[22] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 6, cet. 1
[23] Ibid., hlm. 16
[24] Ibid., hlm. 17
[25] Said Agil Siraj, Op. Cit., hlm. 216
[26] Ibid., hlm. 217
[27] Ahmad Muthohar, Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), hlm., 32
[28] Dhofier, Op. Cit., hlm 202
[29] Ibid., hlm. 281
[30] Ibid.
[31] Dhofier, op cit., hlm., 81
[32] Ibid., hlm., 82

[33] Ibid., 81-82
[34] Ibid., hlm., 41
[35] Ibid., hlm., 88
[36] Ibid., hlm., 90-92
[37] Ibid., 85-86
[38] Ibid., hlm., 90-92
[39] Ibid.,
[40] Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, Terjemah Segaf Abdillah Assegaf, dkk., (Jakarta: Lentera Basritama, 2001), cet. iv, hlm. 319
[41] Ibid., hlm. 331
[42] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet. ii, hlm.178
[43] Hary Noer Aly, Op. Cit., hlm. 184
[44] Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Drs. Salaman Harun, (Bandung: al-Ma’arif, 1984), hlm.325

[46] M. Dian nafi’, Op. Cit.,  hlm.101
[47] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan  Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), hlm., 58
[48] Ibid., hlm. 59
[49] Ibid.
[50] M. Dian Nafi’, Op. Cit., hlm. 101
[51] Ibid., hlm. 102
[52] M. Dian Nafi, Op. Cit., hlm103.
[53] Ibid.
[54] Ibid., hlm. 156
[55] Abasri, et. al. “Sejarah Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Nusantara; Surau, Meunasah, Pesantren Dan Madrasah” Dalam Samsu Nizar (Editor), Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulallah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 287
[56] Mujamil qomar, Op. Cit., hlm. 150

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar Anda Disini