Minggu, 14 Desember 2014

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA LEVEL PENDIDIKAN DASAR

Kita sebagai warga negara Indonesia sekarang ini seolah-olah dibuat kebingungan terkait dengan kebijakan pemerintah dalam mengatur pendidikan. Kurang dari satu tahun, tepatnya hanya satu semester kurikulum dilaksanakan di seluruh sekolah di wilayah Republik ini, oleh menteri pendidikan dasar dan menengah Anis Baswedan dihentikan tepatnya tanggal 6 Desember 2014 yang lalu. Walaupun pada sebagian kecil pada sekolah-sekolah Pilot Project, kurikulum ini masih diberlakukan yang jumlahnya hanya sekitar 6000-an sekolah di seluruh Indonesia. Seolah-olah adagium “ganti menteri ganti kurikulum” memang tidak bisa kita bantah di negeri yang katanya “besar” ini.
Dunia pendidikan di Indonesia memang selalu menjadi sorotan oleh berbagai kalangan di negeri ini, mulai dari praktisi, akademisi, kalangan pebisnis, masyarakat level menengah, masyarakat kecil, bahkan politisi. Upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan telah diupayakan mulai dari ditetapkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pengalokasian dana APBN sebesar 20% untuk biaya pendidikan, hingga program sertifikasi tunjangan guru yang besarnya satu kali gaji, ternyata masih belum kita rasakan dampak yang signifikan dari semua kebijakan tersebut.
Dari beberapa kebijakan yang telah digelontorkan oleh pemerintah, pada prinsipnya merupakan sebuah upaya untuk memajukan pendidikan kita, dan hal ini sebagian besar kita menilainya merupakan kebijakan yang bagus. Tetapi di dalam  implementasinya hal tersebut perlu kita kaji lebih jauh lagi, sehingga antara rencana dan tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai, dan hal ini tidak mungkin terwujud apabila dalam implementasinya jauh panggang dari pada api. Dalam arti bahwa ada sisi-sisi negatif yang membuat kebijakan ini tidak tepat sasaran, apakah hal tersebut berkaitan dengan substansi kebijakannya sendiri atau para pemangku kepentingan yang salah dalam menafsirkan kebijakan tersebut. Sehingga berpengaruh pada implementasi di lapangan.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat kami rumuskan sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan pendidikan Islam?
2.      Bagaimana sistem pendidikan Islam di Indonesia?
3.      Bagaimana kebijakan pendidikan Islam pada level pendidikan dasar?

C.     Tujuan Penulisan Makalah
Dari rumusan di atas dapat disusun tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1.      Untuk mengetahui pendidikan pendidikan Islam secara utuh.
2.      Untuk mengetahui sistem pendidikan Islam di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui kebijakan pendidikan Islam pada level pendidikan dasar.

D.    Manfaat Penulisan  Makalah
Penulisan makalah ini mempunyai beberapa manfaat, diantaranya bagi penulis, hal ini sebagai bahan latihan dalam menganalisa sebuah kebijakan yang diberlakukan kepada publik. Bagi mahasiswa pascasarjana UNISNU, makalah ini ditujukan sebagai referensi studi terhadap kebijakan yang menyangkut pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang
Masyarakat global saat ini secara serius dihadapkan pada pengaruh sistem nilai sekuler dan materialis. Semua lapisan masyarakat, baik orang tua, pendidik, agamawan, kini tengah menghadapi dilema besar dalam pendidikan, yaitu “tentang bagaimana cara terbaik untuk mendidik generasi muda dan mempersiapkan mereka menghadapi tantangan global di masa mendatang”. Sebagian kalangan mencoba memberikan jawaban bahwa jalan terbaik adalah dengan kembali ke masa lalu, sementara yang lain hendak menoleh ke masa depan. Namun di atas semua itu sesungguhnya semua orang membutuhkan perbaikan dan rekonstruksi konsep pendidikan menuju masa depan generasi yang gemilang.[1]
Sistem pendidikan yang berjalan selama ini dirasakan bersifat sentralistik dan konformistik, baik pada level kebijakan atau birokrasinya, maupun pada level pembelajaran di kelas, disarankan untuk dikembalikan kepada kehendak masyarakat secara merdeka dan otonom. Kritik atas sistem pendidikan yang selama ini lebih menekankan pada dimensi kognitif yang mengabaikan dimensi-dimensi yang lain, telah berjasa “memproduk” manusia-manusia cerdas, mahir, dan terampil (skilled) dengan kepribadian terpecah (split personality)[2] terus mengemuka.
Pendidikan konvensional/ non agama yang sekarang mendominasi pendidikan di negeri ini, dirasa telah gagal menciptakan manusia Indonesia yang cerdas sekaligus mempunyai akhlak yang baik.   Tetapi justru sebaliknya, tawuran antar pelajar semakin marak terjadi, pergaulan antar lawan jenis semakin bebas dan melanggar batas norma, obat-obatan terlarang mulai dikonsumsi oleh kalangan pelajar, dan lain sebagainya, hal ini merupakan indikasi belum berhasilnya sistem pendidikan ini membentuk manusia berkarakter.
.
B.     Definisi Pendidikan Islam
Pendidikan telah didefinisikan dengan berbagai pengertian, hal tersebut berkait erat dengan cara pandang masing-masing ahli yang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang kehidupan pendidikan dan sosial di mana mereka hidup. Namun demikian dengan berbagai pengertian yang berbeda tersebut, bertemu semacam sebuah kesimpulan awal yang oleh Azumardi Azra dimaknai sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.[3]
Yusuf Qhardawi memberikan pengertian terhadap pendidikan Islam (seperti yang dikutip oleh Azra) dengan “pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.[4]
Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat”. Begitu juga Marimba mendefinisikan pendidikan Islam sebagai “bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.[5] Oleh keduanya muatan nilai-nilai Islamlah yang lebih penting dalam substansi pendidikan, nilai keIslaman yang kemudian terjelma dalam kehidupan untuk menuntaskan masalah yang dihadapi.
Sedangkan Ramayulis, mengutip dari pengertian pendidikan agama Islam pada kurikulum 2004 terbitan Depdiknas: 2003, memberikan definisi “pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman”.[6]
Kemudian, secara lebih teknis Endang Saifuddin Anshari memberi pengertian pendidikan Islam dengan “proses bimbingan (pimpinan, tuntutan, usulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, dan intuisi), dan raga objek didik dengan bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam”.[7] Pendidikan dalam Islam bukan dimaknai sebagai pengajaran an sich, tetapi lebih dari itu, pendidikan dalam Islam dimaknai sebagai transfer ilmu sekaligus transfer nilai ajaran agama Islam. Pendidikan tidak hanya menghasilkan manusia yang cerdas kognisi serta terampil psikomotornya, tetapi pendidikan juga membangun hubungan dengan Pemberi ilmu itu sendiri, Allah SWT.

C.     Dasar Pendidikan Islam
Pendidikan Islam mempunyai dasar yang jelas, yaitu menempatkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai puncak dari prinsip-prinsip pendidikan dalam Islam. Semua arah pengembangan ilmu pengetahuan harus mendasarkan dirinya kepada dua sumber diatas, ilmu pengetahuan tidak boleh lepas dari bingkai ajaran Islam. Apabila dalam perkembangan selanjutnya terdapat pengetahuan yang berlawanan dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah maka yang kita ambil prinsip-prinsip yang ada pada sumber hukum Islam tersebut. Dalam Al-Qur’an, misalnya memberikan prinsip sangat penting, yaitu penghormatan kepada akal, bimbingan ilmiah, tidak menentang fitrah manusia, serta memelihara kebutuhan sosial. Hal ini tentu berbeda dengan pendidikan barat, dimana posisi akal menempati rangking tertinggi di dalam berkembangnya ilmu pengetahuan. Sehingga pendidikan barat cenderung bebas dari ajaran-ajaran agama tertentu. Mereka menempatkan ajaran agama tidak ubahnya sebagai salah satu objek ilmu seperti sosiologi, antropologi, bahkan ilmu alam.
Dasar pendidikan Islam selanjutnya adalah nilai sosial kemasyarakatan, sejauh nilai tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, dan mendatangkan kemanfaatan untuk kehidupan sosial. Dengan dasar ini, pendidikan Islam dapat diletakkan di dalam kerangka sosiologis, selain menjadi sarana transmisi pewarisan kekayaan sosial budaya yang positif bagi kehidupan manusia.[8]
Dasar pendidikan Islam selanjutnya yaitu warisan pemikiran Islam pada masa lampau. Dalam hal ini, hasil pemikiran para ulama, filsuf, cendekiawan muslim, khususnya dalam pendidikan, menjadi rujukan penting untuk perkembangan pendidikan Islam. Pemikiran mereka pada dasarnya merupakan refleksi dari ajaran Islam itu sendiri, terlepas apakah hal tersebut idealisasi sebuah ajaran, atau hasil kontekstualisasi nilai Islam, jelas hasil pemikiran mereka merupakan warisan pemikiran yang patut untuk dikembangkan di dalam pendidikan Islam. Pemikiran tersebut merupakan sebuah cerminan dinamika Islam dalam menghadapi kenyataan kehidupan yang terus berubah dan berkembang. [9]

D.    Karakteristik Pendidikan Islam
Dari dasar pemikiran Islam di atas, Azumardi Azra mengembangkan karakteristik pendidikan Islam yang berbeda dengan sistem pendidikan lainnya, diantaranya adalah sebagai berikut:[10]
1.    Penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan, dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah SWT.
Setiap muslim berkewajiban menuntut ilmu baik laki-laki maupun perempuan untuk dipahami secara mendalam yang kemudian diupayakan untuk dikembangkan untuk kemaslahatan umat manusia. Upaya pencarian, penguasaan, dan pengembangan inilah yang dalam perkembangan ilmu pendidikan modern dikenal sebagai life long education, yaitu sebuah upaya mencari ilmu yang dilakukan dari mulai lahir sampai seseorang itu meninggal dunia.
Sebagai sebuah ibadah, dalam pencarian, penguasaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam sangat menekankan pada nilai-nilai akhlak. Di dalam konteks ini, kejujuran, sikap tawadhu’, dan menghormati sumber pengetahuan, merupakan prinsip penting yang harus dipegangi oleh setiap pencari ilmu.
2.    Pengakuan terhadap potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang.
Setiap pencari ilmu dipandang sebagai mahkluk Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni agar potensi-potensi dalam dirinya teraktualisasi dengan sebaik-baiknya.
3.    Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat.
Dalam hal ini, ilmu pengetahuan bukan saja harus dikuasai dan dikembangkan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi menuntut juga untuk diamalkan untuk kemaslahatan umat manusia. Dengan demikian terdapat konsistensi, antara apa-apa yang diketahui dengan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.

E.     Pendidikan Islam di Sekolah Dasar.
Pendidikan agama Islam di dalam kurikulum kita, diajarkan pada semua level/ jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Pendidikan agama Islam pada tingkat pendidikan dasar diberikan dua jam pelajaran dalam setiap minggu pada kurikulum 2006, dan sebanyak 3 jam pelajaran dalam seminggu diberikan pada kurikulum 2013. Ketika kita memperhatikan kembali kepada salah satu pengertian pendidikan yang diberikan oleh Ramayulis, bahwa pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman. Maka pertanyaannya sudah tepatkah pengertian tersebut ketika kita berkaca kepada kebijakan tentang pendidikan agama Islam pada sekolah dasar kita.
Tanpa berfikir lebih dalampun kita akan memaknai bahwa pendidikan agama Islam di lingkungan pendidikan kita hanya sebatas “pengajaran agama Islam”, hal ini dapat kita lihat pada prakteknya dilapangan, bagaimana sebuah mata pelajaran hanya berfungsi sebagai transfer ilmu belaka. Dengan demikian apa yang dituntut oleh sebagian besar definisi-definisi pendidikan Islam diatas hanya sebatas idealisme tanpa implementasi di lapangan. Mana mungkin dua/ tiga jam pelajaran dalam seminggu yang hanya didapatkan dari sekolah akan membuat peserta didik dapat memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, serta dapat melaksanakan ajaran agamanya secara utuh dan paripurna? Apabila pendidikan berjalan parsial seperti sistem pendidikan yang sedang berjalan sekarang ini.
Fungsi pendidikan agama Islam di sekolah, oleh Ramayulis disebutkan sebagai berikut:[11]
Pertama, pengembangan yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT yang telah ditanamkan pada lingkungan keluarga. Hal ini akan menjadi hal yang kontraproduktif dengan kenyataan di lapangan, bagaimana pelajaran yang sesingkat itu akan dapat meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan peserta didik, bagaimana pula apabila keluarga mereka berasal merupakan keluarga yang minim dalam hal pemahaman agamanya? Sementara waktu bersama keluarga akan lebih lama dan intensif, tentu yang terjadi adalah ketiadaan bekas pelajaran yang didapat dari sekolah.
Kedua, penyaluran yaitu untuk menyalurkan peserta didik yang memiliki bakat khusus di bidang agama agar bakat tersebut dapat berkembang. Pengalaman terhadap ajaran sebuah agama, tidak terbatas pada mereka yang berbakat saja, tetapi semua manusia berkepentingan untuk menjalankan, lebih memahami ajaran yang ada pada agamanya tersebut. Sedangkan untuk memiliki pemahaman yang lebih mendalam -tafaquh fi ad-din- maka sekolah bukan tempatnya, dan yang lebih tepat adalah lembaga pendidikan pondok pesantren.
Ketiga, perbaikan yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam pemahaman, pengamalan, keyakinan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sepertinya juga sulit untuk diharapkan, karena kita tahu, berapa banyak pendidik yang paham akan ajaran agamanya secara benar, apakah hal tersebut bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan peserta didik yang dalam kenyataan di lingkungan sekolah kurang melaksanakan ajaran-ajaran agama.
Keempat, pencegahan yaitu menangkal hal-hal negatif dan lingkungannya dari budaya-budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tanpa adanya kewenangan kontrol terhadap perilaku peserta didik secara utuh, maka seorang guru akan kesulitan dalam menangkal hal-hal yang bersifat negatif.
Kelima, penyesuaian yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan dapat mengubah lingkungan sesuai dengan ajaran agama Islam. Bagaimana siswa yang minim pemahaman akan agamanya dapat mengubah lingkungannya untuk sesuai dengan ajaran agama Islam yang baik.
Keenam, sumber lain yaitu memberikan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

F.      Kompetensi Lulusan Sekolah Dasar
Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Sekolah Dasar (SD) oleh pemerintah dirumuskan seperti tabel di bawah ini;[12]

Kelas
Al-Qur’an
Keimanan
Akhlaq
Fiqh
Tarikh
1
Mengenal huruf hijaiyah
Mengenal makna shahadatain
Terbiasa berperilaku bersih, jujur dan kasih sayang, tidak kikir, malas, bohong dan terbiasa dengan etika belajar, makan dan minum
Mengenal arkanul Islam dan dapat melakukan tata cara thaharoh

2
Mengenal surat-surat pendek dalam al-qur’an
Beriman kepada Allah SWT
Berperilaku rendah hati, rajin, sederhana dan tidak iri hati, pemarah, ingkar janji, serta hormat kepada orang tua dan mempraktekan etika mandi dan buang air
Mengenal gerakan shalat dan hafal bacaan shalat
Mengerti kisah Nabi Adam dan Nabi Nuh
3
Membaca al-qur’an dengan surat-surat pendek
Mengenal sifat-sifat Allah dan mengetahui nama-nama Malaikat
Tekun, percaya diri dan tidak boros
Mengenal shalat fardhu dan mengetahui keserasian antara gerakan dan bacaan

4
Membaca dan hafal surat-surat pendek
Mengenal sifat-sifat Allah dan mengetahui tugas-tugas malaikat
Tidak hidup boros dan hormat kepada tetangga
Mampu melaksanakan shalat dan dapat adzan dan iqamah
Mengerti kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
5
Membaca dan menulis ayat al-qur’an
Beriman kepada kitab dan Rasul Allah
Terbiasa hidup disiplin, hemat, tidak lalai dan selalu tolong menolong
Mampu melaksanakan puasa wajib dan sunnah
Mengerti kisah Nabi Musa dan Nabi Isa
6
Membaca menulis mengartikan dan menghafal surat-surat pendek
Beriman kepada hari akhir dan beriman kepada qada dan qadhar
Bertanggung jawab dan selalu menyambung silaturrahmi serta tidak mencuri
Mampu melaksanakan zakat fitrah dan dengan dzikir dan berdo’a
Mengerti kisah Nabi Ayub.




G.    Pendidikan Islam: Sebuah Idealisasi dan Aktualisasi
Secara singkat, kita telah memiliki gambaran tentang pendidikan Islam, bagaimana definisinya menurut beberapa ahli, apa saja dasar-dasar pendidikan agama Islam, serta bagaimana pula karakteristik pendidikan agama Islam. Berdasarkan uraian singkat diatas, maka secara garis besar kita dapat mengatakan bahwa sistem pendidikan yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, dari sisi kualitas masih jauh dari kategori pendidikan Islam. Hal ini khususnya yang terjadi pada sekolah-sekolah yang dikelolah oleh pemerintah yang sering kita artikan sebagai sekolah umum.
Pendidikan yang terkesan dan cenderung sekuler dan parsial ini dapat kita maklumi, karena dari sisi historisitas hal ini merupakan sebuah keniscayaan. Kita tahu bahwa sejarah permulaan timbulnya sekolah-sekolah umum di negeri ini, tidak bisa kita lepaskan dari peran pemerintah kolonial Belanda. Upaya memperkecil peran atau bahkan secara sistematis menghilangkan eksistensi lembaga pendidikan yang sebelumnya telah ada di negeri ini, menuntut pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah dengan corak, model, dan sistem pendidikan ala barat. Lembaga pendidikan pondok pesantren, yang sebelumnya telah ada di tanah air ini selama berabad-abad mencoba mereka kikis habis dengan adanya sekolah umum.
Upaya yang terencana dan sistematis ini dapat dirasakan oleh para masyarakat pribumi dengan tidak diperbolehkannya orang-orang yang dengan yang berlatar belakang pendidikan pesantren menempati posisi-posisi strategis di birokrasi pemerintahan kolonial belanda. Secara fundamental ini merupakan sebuah hegemoni terhadap kedaulatan sebuah bangsa dan upaya untuk menancapkan ideologi-ideologi politik dunia barat ke dalam sebuah sistem pendidikan sebuah bangsa.
Maka sudah barang tentu kita sebagai bangsa Indonesia, saat ini harus mulai sadar dan bangkit untuk menemukan kejayaan kita yang telah direnggut oleh bangsa penjajah melalui kembalinya sistem pendidikan kita yang telah berabad-abad terbukti eksis dalam pembangunan karakter bangsa ini. Pendidikan harus kita kembalikan kepada fitrahnya, seperti yang diajarkan di dalam Islam, bahwa tidak ada dikotomi di dalam pendidikan Islam. Pendidikan merupakan upaya untuk membangun manusia secara utuh, baik otak, watak, maupun geraknya. Baik kecerdasan intelektual seseorang, kualitas spiritual seseorang, maupun ketrampilan untuk menjawab tantangan-tantangan hidup di dunia ini, yang bermuara kepada tujuan pencapaian hidup  yang hakiki yaitu kehidupan kekal di akhirat.
Pendidikan harus diupayakan kepada bentuknya yang ideal seperti pendidikan yang maksudkan pada ajaran Islam. Karena hal ini tentu akan berbenturan dengan keadaan zaman, maka upaya aktualisasi ajaran agama menjadi sangat urgen. Seperti yang diungkap oleh Abdurrahman Wahid, bahwa agama sebagai salah satu elemen yang menanamkan nilai-nilai masyarakat, juga pemahaman ajaran-ajaran agamanya mengalami perubahan sesuai dengan perubahan itu sendiri. Perubahan nilai maupun pemahaman ajaran-ajaran agama dapat disebabkan oleh perubahan dalam masyarakat itu sendiri, ataupun pengaruh dari luar. Sehingga dalam hal ini upaya-upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan yang sekarang ini oleh kuntowijoyo secara teknis dipaparkan sebagai berikut: [13]
1.         Pembaruan kurikulum
Islamisasi ilmu pengetahuan sangat signifikan misalnya untuk menjawab persoalan yang selama ini dirasakan di dunia pendidikan, yaitu dualisme antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu “sekuler”. Dualisme ini sangat mencolok terutama jika kita mengamati adanya perbedaan dan bahkan dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum.
Persoalan ini jelas menyentuh langsung problem pembaruan kurikulum pada semua jenjang/ level pendidikan. Dewasa ini lembaga pendidikan pada tingkat dasar belum akan mampu merealisasikan kebijakan seperti ini, karena sifatnya yang sentralistik maka upaya untuk merubah kurikulum menjadi sesuatu yang mustahil, kecuali bagi lembaga pendidikan Islam yang benar-benar melepaskan diri dari keterikatan dengan sistem pendidikan nasional kita, dan ini butuh keberanian yang tinggi terutama pada level pimpinan lembaga pendidikan tersebut. Dalam kaitan ini Koentowijoya telah mendaftar beberapa cara yang selama ini telah dicoba untuk mengatasi dualisme tersebut seperti yang dicoba pada perguruan tinggi.
a.    Pertama, seperti yang sudah dilaksanakan sampai sejauh ini, adalah memasukan mata kuliah-mata kuliah keislaman sebagai bagian integral dari sistem kurikulum yang ada. Jadi misalnya dengan memasukkan materi-materi studi Islam secara wajib mulai dari tingkat dasar sampai tingkat tertentu sebagai bagian integral kurikulum pendidikan keilmuan. Cara ini sudah dipraktekan luas seluruh perguruan tinggi Islam. Di PTN, meskipun tidak sebanyak  PTS Islam, mata kuliah agama Islam misalnya diajarkan sampai tingkat II dan III disemua fakultas. Apakah dengan cara ini dualisme pendidikan berhasil diintgrasikan, banyak kritik sudah diajukan, dan sebanyak itu pula alternatif ditawarkan. Alternatif yang ditawarkan kepada perguruan tinggi ini, dapat dicoba pada level pendidikan dasar dan menengah, tentunya dengan segala konsekuensi yang akan ditanggung oleh satuan pendidikan tersebut.
b.    Kedua, dengan menawarkan mata kuliah-mata kuliah pilihan dalam studi keislaman. Setelah menerima mata kuliah studi keislaman yang diwajibkan ada tingkat permulaan, pada tingkat berikutnya mahasiswa disuruh memilih secara bebas, metode kedua ini belum banyak digunakan diperguruan tinggi islam. Dalam hal ini diimplementasikan di tingkat dasar dan menengah, maka upaya untuk menawarkan beberapa mata pelajaran agama sesuai dengan minat peserta didik dapat dilakukan, sehingga dalam penyerapan materi akan lebih maksimal, karena mereka mempelajari apa yang mereka sukai.
c.    Ketiga, menawarkan diajarkannya matakuliah filsafat ilmu untuk memberikan latar belakang filosofis mengenai semua mata kuliah umum yang diajarkan. Khusus hal ini maka pada pendidikan dasar dan menengah belum bisa dilaksanakan, karena untuk belajar filsafat tentu dibutuhan pemikiran yang lebih mendalam dan fundamental, dan hal ini tentu bagi peserta didik pada level dasar akan kesulitan untuk mengikutinya.  Kecuali hal ini hanya disampaikan dalam rangka pengenalan tentang dasar-dasar filsafat ilmu.
d.   Keempat, mengintegrasikan semua disiplin ilmu di dalam kerangka kurikulum Islam.
Hal ini sudah sering kita jumpai pada pendidikan Islam kita terutama pendidikan pondok pesantren, hanya saja pondok pesantren sekarang ini lebih cenderung mementingkan ilmu-ilmu agama Islam untuk didalami. Upaya ini dapat dimaklumi sebagai upaya untuk menciptakan generasi yang tafaquh fi ad-din, namun demikian mulai sekarang pondok pesantren harus mempelopori sebuah pendidikan yang integral, yang tidak membeda-bedakan antara ilmu umum dan ilmu agama karena dalam agama Islam memang tidak mengenal dikotomi ilmu pengetahuan.

2.          Pendidikan Pondok Pesantren; Sebuah Tawaran
Mendasarkan pemikiran bahwa sistem merupakan totalitas interaksi antara unsur dan nilai yang saling berkait, maka dalam pendidikan pesantren akan ditemui sifat yang kompleks. Sifat kompleksitas ini bisa dijumpai dari unsur pendidikan pesantren yang beragam.
Walaupun demikian, kompleksitas tersebut telah memberikan bukti selama berabad-abad keberadaannya bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang telah turut, bahkan berperan besar- membangun peradaban di negeri ini. Ia telah menjadi suatu “pusat belajar masyarakat” bagi rakyat secara luas.
Tantangan kehidupan modern, disatu sisi, menuntut kemampuan intelektual untuk merespon secara positif dan kreatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi tanpa harus melepaskan diri dari substansi dan prinsip-prinsip universal agama. Pluralitas masyarakat Indonesia, di sisi lain, juga menuntut sikap keberagaman yang inklusif dan toleran. Dengan menggunakan paradigma kontekstualisasi pemikiran klasik, sikap-sikap itu –yaitu respon positif dan kreatif terhadap perubahan dan sikap keberagaman yang inklusif dan toleran−bisa diekspresikan secara nyata oleh Abdurrahman Wahid.[14]
Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih suatu lembaga pendidikan, yaitu cita-cita atau gambaran hidup masa depan, nilai-nilai (agama), dan status sosial.
Gambaran hidup masa depan dijawab  dengan pandangan, bahwa pengikisan proses elitisasi yang telah berjalan di pesantren, harus dibarengi dengan menegakkan kembali kecakapan dan ketrampilan melakukan kerja tangan dalam kehidupan pesantren. Dan hal ini dimaksudkan untuk menciptakan pandangan penghargaan terhadap kerja dan kemampuan berdiri sendiri, sehingga watak kewirausahaan santri akan terbangun dengan sendirinya. Hal ini merupakan sesuatu yang harus dikembangkan di saat orientasi para pencari ilmu mulai terkikis kearah pencarian selembar ijazah yang nantinya akan digunakan untuk melamar menjadi pegawai. Inilah buntut terciptanya pengangguran yang semakin hari semakin meningkat di negeri yang kaya akan potensi alam ini, ibarat pepatah “anak ayam mati di lumbung padi”.
Inilah yang justru harus dibuat rekonstruksinya, dengan tetap tidak meninggalkan pokok-pokok ajaran keagamaan yang kita warisi selama ini. Tradisionalisme yang masak adalah jauh lebih baik dari sikap pseudomodernisme yang dangkal.
Nilai-nilai, jelas merupakan salah satu perhatian penting pondok pesantren. Unsur terpenting dari tujuan pendidikan di pesantren adalah tertanamnya nilai-nilai moralitas agama. Peran kitab klasik yang lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning yang menjadi sumber pengambilan nilai tersebut merupakan pemberi informasi kepada para santri bukan hanya mengenai warisan yurisprudensi di masa lampau atau tentang jalan terang untuk mencapai hakikat ‘ubudiyah kepada Tuhan, namun juga mengenai peran-peran kehidupan di masa depan bagi suatu masyarakat.[15]
Status sosial dapat dicapai seseorang ketika seseorang itu mempunyai ilmu. Sebagai mana di cantumkan pada al-Qur’an surat Mujadalah: 11 “bahwa Allah akan meninggikan derajat seseorang yang mempunyai ilmu”. Hal ini dapat dicapai di dalam pendidikan pesantren, seperti yang lazim kita ketahui di masyarakat, bahwa seseorang yang mempunyai ketinggian ilmu agama akan dihormati oleh masyarakat, secara otomatis status sosial orang tersebut akan meningkat.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian makalah singkat di atas dapat kami sampaikan sebuah simpulan sebagai berikut:
a.    Pendidikan Islam adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan dalam kehidupannya dengan cara membangun akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya., memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat menurut ukuran-ukuran Islam.
b.   Sistem pendidikan Islam pada khususnya masih terbatas pada pendidikan di pondok pesantren yang tetap mempertahankan pandangan tradisional menjadi tata nilai yang di gunakan, dengan tetap mengadopsi hal-hal yang baru sesuai dengan perkembangan jaman, kemandirian yang selama ini terjaga telah berkembang ke arah yang lebih maju, sebagaimana seperti yang sekarang sedang berkembang dimana telah banyak pesantren telah mengelolah pendidikan umum yang menjadi rujukan bukan hanya kalangan kelas bawah tetapi mulai dilirik oleh orang tua yang masuk kelas menengah ke atas. Pesantren harus tetap dikembangkan, manajemen yang selama ini masih terkesan dikelola apa adanya harus diubah kearah penyempurnaan.
c.    Pendidikan Islam pada level sekolah dasar terutama pada sekolah-sekolah yang dikelolah oleh pemerintah (sekolah umum), masih sebatas pada pengajaran bidang studi Islam, belum sampai pada taraf internalisasi ajaran agama Islam.
B.     Saran dan Rekomendasi
Akhirnya segala masukan dan kritik untuk perbaikan makalah ini selalu kami tunggu. Mohon maaf atas ketidaksempurnaan.


DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azumardi, Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah Milenium III, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan,1999
Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amin Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2010
Tholkhah, Imam Dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta:PT. Rajagrafindo Persada, 2004
Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2001
Zainuddin, M., Paradigma Pendidikan Terpadu, Menyiapkan Generasi Ulul Albab, Malang: Uin-Malang Press,2008


















[1]  M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu, Menyiapkan Generasi Ulul Albab, (Malang: Uin-Malang Press,2008), Cet. 1, hlm. 1
[2] Imam Tholkhah Dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Jakarta:PT. Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. X
[3] Prof. Azumardi Azra, Ma., M.Phil., Ph.D., Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012), hlm. 4
[4] Ibid., hlm. 6
[5] Ibid.
[6] Prof. Dr. Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm. 21
[7] Azra , Log. Cit., hlm. 6
[8] Ibid., hlm. 8
[9] Ibid., hlm. 9
[10] Ibid., hlm. 10
[11] Ramayulis,  Op. Cit., hlm. 21-22
[12] Ramayulis, hlm. 40
[13] Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan,1999), hlm. 352
[14] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amin Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 124
[15] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 175

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar Anda Disini