Kita sebagai warga negara Indonesia sekarang ini
seolah-olah dibuat kebingungan terkait dengan kebijakan pemerintah dalam
mengatur pendidikan. Kurang dari satu tahun, tepatnya hanya satu semester
kurikulum dilaksanakan di seluruh sekolah di wilayah Republik ini, oleh menteri
pendidikan dasar dan menengah Anis Baswedan dihentikan tepatnya tanggal 6
Desember 2014 yang lalu. Walaupun pada sebagian kecil pada sekolah-sekolah Pilot
Project, kurikulum ini masih diberlakukan yang jumlahnya hanya sekitar
6000-an sekolah di seluruh Indonesia. Seolah-olah adagium “ganti menteri ganti
kurikulum” memang tidak bisa kita bantah di negeri yang katanya “besar” ini.
Dunia pendidikan di Indonesia memang selalu menjadi
sorotan oleh berbagai kalangan di negeri ini, mulai dari praktisi, akademisi,
kalangan pebisnis, masyarakat level menengah, masyarakat kecil, bahkan
politisi. Upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan telah diupayakan mulai dari
ditetapkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pengalokasian dana APBN sebesar 20% untuk biaya pendidikan, hingga
program sertifikasi tunjangan guru yang besarnya satu kali gaji, ternyata masih
belum kita rasakan dampak yang signifikan dari semua kebijakan tersebut.
Dari beberapa kebijakan yang telah digelontorkan
oleh pemerintah, pada prinsipnya merupakan sebuah upaya untuk memajukan
pendidikan kita, dan hal ini sebagian besar kita menilainya merupakan kebijakan
yang bagus. Tetapi di dalam implementasinya
hal tersebut perlu kita kaji lebih jauh lagi, sehingga antara rencana dan tujuan
yang telah ditetapkan dapat tercapai, dan hal ini tidak mungkin terwujud
apabila dalam implementasinya jauh panggang dari pada api. Dalam arti bahwa ada
sisi-sisi negatif yang membuat kebijakan ini tidak tepat sasaran, apakah hal
tersebut berkaitan dengan substansi kebijakannya sendiri atau para pemangku
kepentingan yang salah dalam menafsirkan kebijakan tersebut. Sehingga
berpengaruh pada implementasi di lapangan.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka dapat kami rumuskan sebuah rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa
yang dimaksud dengan pendidikan Islam?
2. Bagaimana
sistem pendidikan Islam di Indonesia?
3. Bagaimana
kebijakan pendidikan Islam pada level pendidikan dasar?
C. Tujuan
Penulisan Makalah
Dari
rumusan di atas dapat disusun tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk
mengetahui pendidikan pendidikan Islam secara utuh.
2. Untuk
mengetahui sistem pendidikan Islam di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui kebijakan pendidikan Islam pada level pendidikan dasar.
D. Manfaat
Penulisan Makalah
Penulisan
makalah ini mempunyai beberapa manfaat, diantaranya bagi penulis, hal ini
sebagai bahan latihan dalam menganalisa sebuah kebijakan yang diberlakukan
kepada publik. Bagi mahasiswa pascasarjana UNISNU, makalah ini ditujukan
sebagai referensi studi terhadap kebijakan yang menyangkut pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang
Masyarakat global saat ini secara serius dihadapkan
pada pengaruh sistem nilai sekuler dan materialis. Semua lapisan masyarakat,
baik orang tua, pendidik, agamawan, kini tengah menghadapi dilema besar dalam
pendidikan, yaitu “tentang bagaimana cara terbaik untuk mendidik generasi muda
dan mempersiapkan mereka menghadapi tantangan global di masa mendatang”.
Sebagian kalangan mencoba memberikan jawaban bahwa jalan terbaik adalah dengan
kembali ke masa lalu, sementara yang lain hendak menoleh ke masa depan. Namun
di atas semua itu sesungguhnya semua orang membutuhkan perbaikan dan
rekonstruksi konsep pendidikan menuju masa depan generasi yang gemilang.[1]
Sistem pendidikan yang berjalan selama ini dirasakan
bersifat sentralistik dan konformistik, baik pada level kebijakan atau
birokrasinya, maupun pada level pembelajaran di kelas, disarankan untuk
dikembalikan kepada kehendak masyarakat secara merdeka dan otonom. Kritik atas
sistem pendidikan yang selama ini lebih menekankan pada dimensi kognitif yang
mengabaikan dimensi-dimensi yang lain, telah berjasa “memproduk”
manusia-manusia cerdas, mahir, dan terampil (skilled) dengan kepribadian
terpecah (split personality)[2]
terus mengemuka.
Pendidikan konvensional/ non agama yang sekarang
mendominasi pendidikan di negeri ini, dirasa telah gagal menciptakan manusia
Indonesia yang cerdas sekaligus mempunyai akhlak yang baik. Tetapi justru sebaliknya, tawuran antar
pelajar semakin marak terjadi, pergaulan antar lawan jenis semakin bebas dan
melanggar batas norma, obat-obatan terlarang mulai dikonsumsi oleh kalangan
pelajar, dan lain sebagainya, hal ini merupakan indikasi belum berhasilnya
sistem pendidikan ini membentuk manusia berkarakter.
.
B. Definisi
Pendidikan Islam
Pendidikan
telah didefinisikan dengan berbagai pengertian, hal tersebut berkait erat
dengan cara pandang masing-masing ahli yang tidak bisa dilepaskan dari latar
belakang kehidupan pendidikan dan sosial di mana mereka hidup. Namun demikian
dengan berbagai pengertian yang berbeda tersebut, bertemu semacam sebuah
kesimpulan awal yang oleh Azumardi Azra dimaknai sebagai suatu proses penyiapan
generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara
lebih efektif dan efisien.[3]
Yusuf
Qhardawi memberikan pengertian terhadap pendidikan Islam (seperti yang dikutip
oleh Azra) dengan “pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal
dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu,
pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun
perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan
dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.[4]
Sementara
itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai “proses penyiapan
generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai
Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan
memetik hasilnya di akhirat”. Begitu juga Marimba mendefinisikan pendidikan
Islam sebagai “bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran-ukuran Islam”.[5]
Oleh keduanya muatan nilai-nilai Islamlah yang lebih penting dalam substansi
pendidikan, nilai keIslaman yang kemudian terjelma dalam kehidupan untuk
menuntaskan masalah yang dihadapi.
Sedangkan
Ramayulis, mengutip dari pengertian pendidikan agama Islam pada kurikulum 2004
terbitan Depdiknas: 2003, memberikan definisi “pendidikan agama Islam adalah
upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal,
memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran
agama Islam dari sumber utamanya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman”.[6]
Kemudian,
secara lebih teknis Endang Saifuddin Anshari memberi pengertian pendidikan
Islam dengan “proses bimbingan (pimpinan, tuntutan, usulan) oleh subjek didik
terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, dan intuisi), dan raga
objek didik dengan bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan
metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya
pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam”.[7]
Pendidikan dalam Islam bukan dimaknai sebagai pengajaran an sich, tetapi
lebih dari itu, pendidikan dalam Islam dimaknai sebagai transfer ilmu sekaligus
transfer nilai ajaran agama Islam. Pendidikan tidak hanya menghasilkan manusia
yang cerdas kognisi serta terampil psikomotornya, tetapi pendidikan juga
membangun hubungan dengan Pemberi ilmu itu sendiri, Allah SWT.
C.
Dasar Pendidikan
Islam
Pendidikan
Islam mempunyai dasar yang jelas, yaitu menempatkan Al-Qur’an dan Sunnah
sebagai puncak dari prinsip-prinsip pendidikan dalam Islam. Semua arah
pengembangan ilmu pengetahuan harus mendasarkan dirinya kepada dua sumber
diatas, ilmu pengetahuan tidak boleh lepas dari bingkai ajaran Islam. Apabila
dalam perkembangan selanjutnya terdapat pengetahuan yang berlawanan dengan
ajaran Al-Qur’an dan Sunnah maka yang kita ambil prinsip-prinsip yang ada pada
sumber hukum Islam tersebut. Dalam Al-Qur’an, misalnya memberikan prinsip
sangat penting, yaitu penghormatan kepada akal, bimbingan ilmiah, tidak
menentang fitrah manusia, serta memelihara kebutuhan sosial. Hal ini tentu
berbeda dengan pendidikan barat, dimana posisi akal menempati rangking
tertinggi di dalam berkembangnya ilmu pengetahuan. Sehingga pendidikan barat cenderung
bebas dari ajaran-ajaran agama tertentu. Mereka menempatkan ajaran agama tidak
ubahnya sebagai salah satu objek ilmu seperti sosiologi, antropologi, bahkan
ilmu alam.
Dasar
pendidikan Islam selanjutnya adalah nilai sosial kemasyarakatan, sejauh nilai tersebut
tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, dan mendatangkan
kemanfaatan untuk kehidupan sosial. Dengan dasar ini, pendidikan Islam dapat
diletakkan di dalam kerangka sosiologis, selain menjadi sarana transmisi
pewarisan kekayaan sosial budaya yang positif bagi kehidupan manusia.[8]
Dasar
pendidikan Islam selanjutnya yaitu warisan pemikiran Islam pada masa lampau.
Dalam hal ini, hasil pemikiran para ulama, filsuf, cendekiawan muslim,
khususnya dalam pendidikan, menjadi rujukan penting untuk perkembangan
pendidikan Islam. Pemikiran mereka pada dasarnya merupakan refleksi dari ajaran
Islam itu sendiri, terlepas apakah hal tersebut idealisasi sebuah ajaran, atau
hasil kontekstualisasi nilai Islam, jelas hasil pemikiran mereka merupakan warisan
pemikiran yang patut untuk dikembangkan di dalam pendidikan Islam. Pemikiran
tersebut merupakan sebuah cerminan dinamika Islam dalam menghadapi kenyataan
kehidupan yang terus berubah dan berkembang. [9]
D.
Karakteristik
Pendidikan Islam
Dari
dasar pemikiran Islam di atas, Azumardi Azra mengembangkan karakteristik
pendidikan Islam yang berbeda dengan sistem pendidikan lainnya, diantaranya
adalah sebagai berikut:[10]
1. Penekanan
pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan, dan pengembangan atas dasar ibadah
kepada Allah SWT.
Setiap muslim
berkewajiban menuntut ilmu baik laki-laki maupun perempuan untuk dipahami
secara mendalam yang kemudian diupayakan untuk dikembangkan untuk kemaslahatan
umat manusia. Upaya pencarian, penguasaan, dan pengembangan inilah yang dalam
perkembangan ilmu pendidikan modern dikenal sebagai life long education, yaitu
sebuah upaya mencari ilmu yang dilakukan dari mulai lahir sampai seseorang itu
meninggal dunia.
Sebagai sebuah ibadah,
dalam pencarian, penguasaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam pendidikan
Islam sangat menekankan pada nilai-nilai akhlak. Di dalam konteks ini,
kejujuran, sikap tawadhu’, dan menghormati sumber pengetahuan, merupakan
prinsip penting yang harus dipegangi oleh setiap pencari ilmu.
2. Pengakuan
terhadap potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang.
Setiap pencari
ilmu dipandang sebagai mahkluk Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni agar
potensi-potensi dalam dirinya teraktualisasi dengan sebaik-baiknya.
3. Pengamalan
ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat.
Dalam hal ini,
ilmu pengetahuan bukan saja harus dikuasai dan dikembangkan untuk kepentingan
dirinya sendiri, tetapi menuntut juga untuk diamalkan untuk kemaslahatan umat
manusia. Dengan demikian terdapat konsistensi, antara apa-apa yang diketahui
dengan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
E. Pendidikan
Islam di Sekolah Dasar.
Pendidikan
agama Islam di dalam kurikulum kita, diajarkan pada semua level/ jenjang
pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Pendidikan
agama Islam pada tingkat pendidikan dasar diberikan dua jam pelajaran dalam
setiap minggu pada kurikulum 2006, dan sebanyak 3 jam pelajaran dalam seminggu
diberikan pada kurikulum 2013. Ketika kita memperhatikan kembali kepada salah
satu pengertian pendidikan yang diberikan oleh Ramayulis, bahwa pendidikan
agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik
untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia,
mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan
pengalaman. Maka pertanyaannya sudah tepatkah pengertian tersebut ketika kita
berkaca kepada kebijakan tentang pendidikan agama Islam pada sekolah dasar
kita.
Tanpa
berfikir lebih dalampun kita akan memaknai bahwa pendidikan agama Islam di
lingkungan pendidikan kita hanya sebatas “pengajaran agama Islam”, hal ini
dapat kita lihat pada prakteknya dilapangan, bagaimana sebuah mata pelajaran
hanya berfungsi sebagai transfer ilmu belaka. Dengan demikian apa yang dituntut
oleh sebagian besar definisi-definisi pendidikan Islam diatas hanya sebatas
idealisme tanpa implementasi di lapangan. Mana mungkin dua/ tiga jam pelajaran
dalam seminggu yang hanya didapatkan dari sekolah akan membuat peserta didik
dapat memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, serta dapat
melaksanakan ajaran agamanya secara utuh dan paripurna? Apabila pendidikan
berjalan parsial seperti sistem pendidikan yang sedang berjalan sekarang ini.
Fungsi
pendidikan agama Islam di sekolah, oleh Ramayulis disebutkan sebagai berikut:[11]
Pertama,
pengembangan
yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT yang telah
ditanamkan pada lingkungan keluarga. Hal ini akan menjadi hal yang
kontraproduktif dengan kenyataan di lapangan, bagaimana pelajaran yang
sesingkat itu akan dapat meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan peserta
didik, bagaimana pula apabila keluarga mereka berasal merupakan keluarga yang
minim dalam hal pemahaman agamanya? Sementara waktu bersama keluarga akan lebih
lama dan intensif, tentu yang terjadi adalah ketiadaan bekas pelajaran yang
didapat dari sekolah.
Kedua,
penyaluran
yaitu untuk menyalurkan peserta didik yang memiliki bakat khusus di bidang
agama agar bakat tersebut dapat berkembang. Pengalaman terhadap ajaran sebuah
agama, tidak terbatas pada mereka yang berbakat saja, tetapi semua manusia
berkepentingan untuk menjalankan, lebih memahami ajaran yang ada pada agamanya
tersebut. Sedangkan untuk memiliki pemahaman yang lebih mendalam -tafaquh fi
ad-din- maka sekolah bukan tempatnya, dan yang lebih tepat adalah lembaga
pendidikan pondok pesantren.
Ketiga,
perbaikan
yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam pemahaman, pengamalan,
keyakinan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sepertinya juga
sulit untuk diharapkan, karena kita tahu, berapa banyak pendidik yang paham
akan ajaran agamanya secara benar, apakah hal tersebut bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan
peserta didik yang dalam kenyataan di lingkungan sekolah kurang melaksanakan
ajaran-ajaran agama.
Keempat,
pencegahan
yaitu menangkal hal-hal negatif dan lingkungannya dari budaya-budaya yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Tanpa adanya kewenangan kontrol terhadap
perilaku peserta didik secara utuh, maka seorang guru akan kesulitan dalam
menangkal hal-hal yang bersifat negatif.
Kelima,
penyesuaian
yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan dapat mengubah
lingkungan sesuai dengan ajaran agama Islam. Bagaimana siswa yang minim
pemahaman akan agamanya dapat mengubah lingkungannya untuk sesuai dengan ajaran
agama Islam yang baik.
Keenam,
sumber
lain yaitu memberikan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat.
F.
Kompetensi
Lulusan Sekolah Dasar
Kompetensi
Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Sekolah Dasar (SD) oleh pemerintah
dirumuskan seperti tabel di bawah ini;[12]
Kelas
|
Al-Qur’an
|
Keimanan
|
Akhlaq
|
Fiqh
|
Tarikh
|
1
|
Mengenal
huruf hijaiyah
|
Mengenal
makna shahadatain
|
Terbiasa
berperilaku bersih, jujur dan kasih sayang, tidak kikir, malas, bohong dan
terbiasa dengan etika belajar, makan dan minum
|
Mengenal
arkanul Islam dan dapat melakukan tata cara thaharoh
|
|
2
|
Mengenal
surat-surat pendek dalam al-qur’an
|
Beriman
kepada Allah SWT
|
Berperilaku
rendah hati, rajin, sederhana dan tidak iri hati, pemarah, ingkar janji,
serta hormat kepada orang tua dan mempraktekan etika mandi dan buang air
|
Mengenal
gerakan shalat dan hafal bacaan shalat
|
Mengerti
kisah Nabi Adam dan Nabi Nuh
|
3
|
Membaca
al-qur’an dengan surat-surat pendek
|
Mengenal
sifat-sifat Allah dan mengetahui nama-nama Malaikat
|
Tekun,
percaya diri dan tidak boros
|
Mengenal
shalat fardhu dan mengetahui keserasian antara gerakan dan bacaan
|
|
4
|
Membaca
dan hafal surat-surat pendek
|
Mengenal
sifat-sifat Allah dan mengetahui tugas-tugas malaikat
|
Tidak
hidup boros dan hormat kepada tetangga
|
Mampu
melaksanakan shalat dan dapat adzan dan iqamah
|
Mengerti
kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
|
5
|
Membaca
dan menulis ayat al-qur’an
|
Beriman
kepada kitab dan Rasul Allah
|
Terbiasa
hidup disiplin, hemat, tidak lalai dan selalu tolong menolong
|
Mampu
melaksanakan puasa wajib dan sunnah
|
Mengerti
kisah Nabi Musa dan Nabi Isa
|
6
|
Membaca
menulis mengartikan dan menghafal surat-surat pendek
|
Beriman
kepada hari akhir dan beriman kepada qada dan qadhar
|
Bertanggung
jawab dan selalu menyambung silaturrahmi serta tidak mencuri
|
Mampu
melaksanakan zakat fitrah dan dengan dzikir dan berdo’a
|
Mengerti
kisah Nabi Ayub.
|
G. Pendidikan
Islam: Sebuah Idealisasi dan Aktualisasi
Secara
singkat, kita telah memiliki gambaran tentang pendidikan Islam, bagaimana
definisinya menurut beberapa ahli, apa saja dasar-dasar pendidikan agama Islam,
serta bagaimana pula karakteristik pendidikan agama Islam. Berdasarkan uraian
singkat diatas, maka secara garis besar kita dapat mengatakan bahwa sistem
pendidikan yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, dari sisi kualitas
masih jauh dari kategori pendidikan Islam. Hal ini khususnya yang terjadi pada
sekolah-sekolah yang dikelolah oleh pemerintah yang sering kita artikan sebagai
sekolah umum.
Pendidikan
yang terkesan dan cenderung sekuler dan parsial ini dapat kita maklumi, karena
dari sisi historisitas hal ini merupakan sebuah keniscayaan. Kita tahu bahwa
sejarah permulaan timbulnya sekolah-sekolah umum di negeri ini, tidak bisa kita
lepaskan dari peran pemerintah kolonial Belanda. Upaya memperkecil peran atau
bahkan secara sistematis menghilangkan eksistensi lembaga pendidikan yang
sebelumnya telah ada di negeri ini, menuntut pemerintah kolonial Belanda
mendirikan sekolah dengan corak, model, dan sistem pendidikan ala barat.
Lembaga pendidikan pondok pesantren, yang sebelumnya telah ada di tanah air ini
selama berabad-abad mencoba mereka kikis habis dengan adanya sekolah umum.
Upaya
yang terencana dan sistematis ini dapat dirasakan oleh para masyarakat pribumi
dengan tidak diperbolehkannya orang-orang yang dengan yang berlatar belakang
pendidikan pesantren menempati posisi-posisi strategis di birokrasi
pemerintahan kolonial belanda. Secara fundamental ini merupakan sebuah hegemoni
terhadap kedaulatan sebuah bangsa dan upaya untuk menancapkan ideologi-ideologi
politik dunia barat ke dalam sebuah sistem pendidikan sebuah bangsa.
Maka
sudah barang tentu kita sebagai bangsa Indonesia, saat ini harus mulai sadar
dan bangkit untuk menemukan kejayaan kita yang telah direnggut oleh bangsa
penjajah melalui kembalinya sistem pendidikan kita yang telah berabad-abad
terbukti eksis dalam pembangunan karakter bangsa ini. Pendidikan harus kita
kembalikan kepada fitrahnya, seperti yang diajarkan di dalam Islam, bahwa tidak
ada dikotomi di dalam pendidikan Islam. Pendidikan merupakan upaya untuk
membangun manusia secara utuh, baik otak, watak, maupun geraknya. Baik
kecerdasan intelektual seseorang, kualitas spiritual seseorang, maupun
ketrampilan untuk menjawab tantangan-tantangan hidup di dunia ini, yang
bermuara kepada tujuan pencapaian hidup
yang hakiki yaitu kehidupan kekal di akhirat.
Pendidikan
harus diupayakan kepada bentuknya yang ideal seperti pendidikan yang maksudkan
pada ajaran Islam. Karena hal ini tentu akan berbenturan dengan keadaan zaman,
maka upaya aktualisasi ajaran agama menjadi sangat urgen. Seperti yang diungkap
oleh Abdurrahman Wahid, bahwa agama sebagai salah satu elemen yang menanamkan nilai-nilai
masyarakat, juga pemahaman ajaran-ajaran agamanya mengalami perubahan sesuai
dengan perubahan itu sendiri. Perubahan nilai maupun pemahaman ajaran-ajaran
agama dapat disebabkan oleh perubahan dalam masyarakat itu sendiri, ataupun
pengaruh dari luar. Sehingga dalam hal ini upaya-upaya untuk memperbaiki sistem
pendidikan yang sekarang ini oleh kuntowijoyo secara teknis dipaparkan sebagai
berikut: [13]
1.
Pembaruan
kurikulum
Islamisasi ilmu pengetahuan sangat
signifikan misalnya untuk menjawab persoalan yang selama ini dirasakan di dunia
pendidikan, yaitu dualisme antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu “sekuler”.
Dualisme ini sangat mencolok terutama jika kita mengamati adanya perbedaan dan
bahkan dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum.
Persoalan ini jelas menyentuh
langsung problem pembaruan kurikulum pada semua jenjang/ level pendidikan.
Dewasa ini lembaga pendidikan pada tingkat dasar belum akan mampu
merealisasikan kebijakan seperti ini, karena sifatnya yang sentralistik maka
upaya untuk merubah kurikulum menjadi sesuatu yang mustahil, kecuali bagi
lembaga pendidikan Islam yang benar-benar melepaskan diri dari keterikatan
dengan sistem pendidikan nasional kita, dan ini butuh keberanian yang tinggi
terutama pada level pimpinan lembaga pendidikan tersebut. Dalam kaitan ini Koentowijoya
telah mendaftar beberapa cara yang selama ini telah dicoba untuk mengatasi
dualisme tersebut seperti yang dicoba pada perguruan tinggi.
a. Pertama,
seperti yang sudah dilaksanakan sampai sejauh ini, adalah memasukan mata kuliah-mata
kuliah keislaman sebagai bagian integral dari sistem kurikulum yang ada. Jadi
misalnya dengan memasukkan materi-materi studi Islam secara wajib mulai dari
tingkat dasar sampai tingkat tertentu sebagai bagian integral kurikulum
pendidikan keilmuan. Cara ini sudah dipraktekan luas seluruh perguruan tinggi
Islam. Di PTN, meskipun tidak sebanyak PTS Islam, mata kuliah agama Islam misalnya
diajarkan sampai tingkat II dan III disemua fakultas. Apakah dengan cara ini
dualisme pendidikan berhasil diintgrasikan, banyak kritik sudah diajukan, dan
sebanyak itu pula alternatif ditawarkan. Alternatif yang ditawarkan kepada
perguruan tinggi ini, dapat dicoba pada level pendidikan dasar dan menengah,
tentunya dengan segala konsekuensi yang akan ditanggung oleh satuan pendidikan
tersebut.
b. Kedua,
dengan menawarkan mata kuliah-mata kuliah pilihan dalam studi keislaman. Setelah
menerima mata kuliah studi keislaman yang diwajibkan ada tingkat permulaan,
pada tingkat berikutnya mahasiswa disuruh memilih secara bebas, metode kedua
ini belum banyak digunakan diperguruan tinggi islam. Dalam hal ini
diimplementasikan di tingkat dasar dan menengah, maka upaya untuk menawarkan
beberapa mata pelajaran agama sesuai dengan minat peserta didik dapat
dilakukan, sehingga dalam penyerapan materi akan lebih maksimal, karena mereka
mempelajari apa yang mereka sukai.
c. Ketiga,
menawarkan diajarkannya matakuliah filsafat ilmu untuk memberikan latar
belakang filosofis mengenai semua mata kuliah umum yang diajarkan. Khusus hal
ini maka pada pendidikan dasar dan menengah belum bisa dilaksanakan, karena
untuk belajar filsafat tentu dibutuhan pemikiran yang lebih mendalam dan
fundamental, dan hal ini tentu bagi peserta didik pada level dasar akan
kesulitan untuk mengikutinya. Kecuali
hal ini hanya disampaikan dalam rangka pengenalan tentang dasar-dasar filsafat
ilmu.
d. Keempat,
mengintegrasikan semua disiplin ilmu di dalam kerangka kurikulum Islam.
Hal ini sudah sering kita jumpai
pada pendidikan Islam kita terutama pendidikan pondok pesantren, hanya saja
pondok pesantren sekarang ini lebih cenderung mementingkan ilmu-ilmu agama Islam
untuk didalami. Upaya ini dapat dimaklumi sebagai upaya untuk menciptakan
generasi yang tafaquh fi ad-din, namun demikian mulai sekarang pondok
pesantren harus mempelopori sebuah pendidikan yang integral, yang tidak
membeda-bedakan antara ilmu umum dan ilmu agama karena dalam agama Islam memang
tidak mengenal dikotomi ilmu pengetahuan.
2.
Pendidikan Pondok Pesantren; Sebuah Tawaran
Mendasarkan
pemikiran bahwa sistem merupakan totalitas interaksi antara unsur dan nilai
yang saling berkait, maka dalam pendidikan pesantren akan ditemui sifat yang
kompleks. Sifat kompleksitas ini bisa dijumpai dari unsur pendidikan pesantren
yang beragam.
Walaupun
demikian, kompleksitas tersebut telah memberikan bukti selama berabad-abad
keberadaannya bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan Islam
yang telah turut, bahkan berperan besar- membangun peradaban di negeri ini. Ia
telah menjadi suatu “pusat belajar masyarakat” bagi rakyat secara luas.
Tantangan
kehidupan modern, disatu sisi, menuntut kemampuan intelektual untuk merespon
secara positif dan kreatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi tanpa
harus melepaskan diri dari substansi dan prinsip-prinsip universal agama.
Pluralitas masyarakat Indonesia, di sisi lain, juga menuntut sikap keberagaman
yang inklusif dan toleran. Dengan menggunakan paradigma kontekstualisasi
pemikiran klasik, sikap-sikap itu –yaitu respon positif dan kreatif terhadap
perubahan dan sikap keberagaman yang inklusif dan toleran−bisa diekspresikan
secara nyata oleh Abdurrahman Wahid.[14]
Ada tiga
hal yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih suatu lembaga
pendidikan, yaitu cita-cita atau gambaran hidup masa depan, nilai-nilai
(agama), dan status sosial.
Gambaran
hidup masa depan dijawab dengan
pandangan, bahwa pengikisan proses elitisasi yang telah berjalan di pesantren,
harus dibarengi dengan menegakkan kembali kecakapan dan ketrampilan melakukan
kerja tangan dalam kehidupan pesantren. Dan hal ini dimaksudkan untuk
menciptakan pandangan penghargaan terhadap kerja dan kemampuan berdiri sendiri,
sehingga watak kewirausahaan santri akan terbangun dengan sendirinya. Hal ini
merupakan sesuatu yang harus dikembangkan di saat orientasi para pencari ilmu
mulai terkikis kearah pencarian selembar ijazah yang nantinya akan digunakan
untuk melamar menjadi pegawai. Inilah buntut terciptanya pengangguran yang
semakin hari semakin meningkat di negeri yang kaya akan potensi alam ini,
ibarat pepatah “anak ayam mati di lumbung padi”.
Inilah yang justru harus dibuat rekonstruksinya,
dengan tetap tidak meninggalkan pokok-pokok ajaran keagamaan yang kita warisi
selama ini. Tradisionalisme yang masak adalah jauh lebih baik dari sikap
pseudomodernisme yang dangkal.
Nilai-nilai, jelas merupakan salah satu perhatian
penting pondok pesantren. Unsur terpenting dari tujuan pendidikan di pesantren
adalah tertanamnya nilai-nilai moralitas agama. Peran kitab klasik yang lebih
dikenal dengan sebutan kitab kuning yang menjadi sumber pengambilan nilai
tersebut merupakan pemberi informasi kepada para santri bukan hanya mengenai
warisan yurisprudensi di masa lampau atau tentang jalan terang untuk mencapai
hakikat ‘ubudiyah kepada Tuhan, namun juga mengenai peran-peran kehidupan di
masa depan bagi suatu masyarakat.[15]
Status sosial dapat dicapai seseorang ketika
seseorang itu mempunyai ilmu. Sebagai mana di cantumkan pada al-Qur’an surat
Mujadalah: 11 “bahwa Allah akan meninggikan derajat seseorang yang mempunyai
ilmu”. Hal ini dapat dicapai di dalam pendidikan pesantren, seperti yang lazim
kita ketahui di masyarakat, bahwa seseorang yang mempunyai ketinggian ilmu
agama akan dihormati oleh masyarakat, secara otomatis status sosial orang
tersebut akan meningkat.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian makalah singkat di atas dapat kami sampaikan sebuah simpulan sebagai
berikut:
a. Pendidikan
Islam adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan dalam
kehidupannya dengan cara membangun akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya,
akhlak dan keterampilannya., memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang
diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya
di akhirat menurut ukuran-ukuran Islam.
b. Sistem pendidikan Islam pada
khususnya masih terbatas pada pendidikan di pondok pesantren yang tetap
mempertahankan pandangan tradisional menjadi tata nilai yang di gunakan, dengan
tetap mengadopsi hal-hal yang baru sesuai dengan perkembangan jaman, kemandirian
yang selama ini terjaga telah berkembang ke arah yang lebih maju, sebagaimana
seperti yang sekarang sedang berkembang dimana telah banyak pesantren telah
mengelolah pendidikan umum yang menjadi rujukan bukan hanya kalangan kelas
bawah tetapi mulai dilirik oleh orang tua yang masuk kelas menengah ke atas.
Pesantren harus tetap dikembangkan, manajemen yang selama ini masih terkesan
dikelola apa adanya harus diubah kearah penyempurnaan.
c. Pendidikan Islam pada level
sekolah dasar terutama pada sekolah-sekolah yang dikelolah oleh pemerintah
(sekolah umum), masih sebatas pada pengajaran bidang studi Islam, belum sampai
pada taraf internalisasi ajaran agama Islam.
B. Saran
dan Rekomendasi
Akhirnya
segala masukan dan kritik untuk perbaikan makalah ini selalu kami tunggu. Mohon
maaf atas ketidaksempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azumardi, Pendidikan
Islam; Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah Milenium III, Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2012
Kuntowijoyo, Paradigma Islam;
Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan,1999
Masdar, Umaruddin, Membaca
Pikiran Gus Dur Dan Amin Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999
Ramayulis, Metodologi Pendidikan
Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2010
Tholkhah, Imam Dan Ahmad Barizi,
Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan
Pendidikan Islam, Jakarta:PT. Rajagrafindo Persada, 2004
Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan
Tradisi; Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2001
Zainuddin, M., Paradigma
Pendidikan Terpadu, Menyiapkan Generasi Ulul Albab, Malang: Uin-Malang
Press,2008
[1]
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu, Menyiapkan Generasi Ulul
Albab, (Malang: Uin-Malang Press,2008), Cet. 1, hlm. 1
[2] Imam Tholkhah Dan Ahmad Barizi,
Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan
Pendidikan Islam, (Jakarta:PT. Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. X
[3] Prof. Azumardi Azra, Ma.,
M.Phil., Ph.D., Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah Milenium
III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012), hlm. 4
[4] Ibid., hlm. 6
[5] Ibid.
[6] Prof. Dr. Ramayulis, Metodologi
Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm. 21
[7] Azra , Log. Cit., hlm. 6
[8] Ibid., hlm. 8
[9] Ibid., hlm. 9
[10] Ibid., hlm. 10
[11] Ramayulis, Op. Cit., hlm. 21-22
[12] Ramayulis, hlm. 40
[13] Kuntowijoyo, Paradigma Islam;
Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan,1999), hlm. 352
[14] Umaruddin Masdar, Membaca
Pikiran Gus Dur Dan Amin Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 124
[15] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan
Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 175
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar Anda Disini