Rasulullah SAW menghabiskan dua puluh tiga tahun untuk mendakwahkan Islam. Menyampaikan hukum-hukum
dan ajaran-ajarannya. Sehingga kepulauan Arabia dan sekitarnya telah memeluk
agama Islam. Jangka waktu selama itu sekaligus merupakan periode pengajaran
praktis dan sendi dasar bagi pembangunan peradaban Islam yang luhur yang telah
merubah wajah sejarah dan mengembangkannya dengan senjata peradaban di segala
aspek kehidupan.
Menyampaikan risalah dan amanah merupakan tugas penting yang
sangat berat dan penuh resiko yang hanya mampu dipikul oleh rasul-rasul yang
mendidik dan mengajar beliau dengan perhatian-Nya yang bersifat ketuhanan, agar
beliau mampu memangku tugas risalah dan menyampaikannya kepada umat Islam. Wahyu
yang diberikannya juga ia terapkan dalam setiap perkataan, perbuatan dan taqrir
beliau yang kita kenal dengan hadis. Hadis terbagi atas beberapa periode akan
tetapi dalam hal ini penulis akan membahas perkembangan hadis dimasa Rasul SAW,
sahabat dan tabi’in.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis
Hadis atau Al-Hadits menurut bahasa Al-Jadid yang artinya
sesuatu yang baru, warta, berita yang belum lagi lama dekat. Menurut istilah
hadis adalah :
a)
Ahli Hadis : Segala Ucapan, perbuatan dan keadaan Rasul. Berita baik dari Nabi,
Sahabat dan Tabi’in.
b)
Ahli Ushul : segala perkataan Nabi SAW, perbuatan dan taqrirnya yang berkaitan
dengan hukum Syara’ dan ketetapannya.
c) Ibnu Taimiah : Segala yang diriwayatkan dari Nabi
sesudah beliau menjadi Nabi, baik perkataan, perbuatan maupun pekerjaan atau
ikrarnya.
d)
Sebahagian Ulama : Perkataan, perbuatan, Taqrir Nabi, sahabat dan tabi’in.[1]
B. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Hadis
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan
dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat mengetahui bagaimana sikap dan
tindakan umat Islam yang sebenarnya baik dimassa lalu maupun sekarang. Karena jika kita lihat kebelakang
tentunya kita akan mengetahui bagaimana Rasul menyampaikan wahyu kepada manusia
lainnya.[2]
1. Hadis Pada Masa Rasul SAW
Membicarakan hadis pada masa Rasulullah SAW berarti
membicarakan hadis pada masa pertumbuhan yang berkaitan dengan kepribadian Nabi
yang dalam hal ini sebagai sumber hadis. Dalam menerima wahyu dan hadis para
sahabat juga dituntut untuk serius dan hati-hati dalam mempelajarinya karena
mengingat mereka adalah pewaris pertama ajaran agama islam.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW
dijelaskan melalui perkataan, perbuatan dan penetapan Taqrirnya. Sehingga apa
yang didengar, dilihat dan disaksikan dari Nabi akan menjadi bahan pedoman bagi
amaliah dan ubudiah para sahabat karena melihat Rasulullah adalah satu-satunya
figur yang paling sempurna dan ada hal-hal yang membedakannya dengan manusia
lain sehingga mereka menjadikan Nabi sebagai Suri Tauladan dari umat islam baik
sekarang maupun yang akan datang.
a. Cara Rasul Menyampaikan Hadis
Hadis dalam masa Rasulullah memiliki
satu keistimewaan dibandingkan hadis pada masa sahabat dan pada masa tbi’in
yaitu hadis pada masa Rasulullah diperoleh secara langsung dari Nabi sendiri
tanpa harus ada perantara dan tanpa menggunakan Hijab. Sehingga apa yang dikatakan dan
dilakukan oleh Nabi dapat disaksikan langsung oleh para sahabat.
Allah mengutus Nabi Muhammad dan
mewahyukan Al Qur’an kepadanya sebagai pedoman hidup manusia dan semua yang
disampaikan Nabi merupakan wahyu bagi Umat manusia yang kita kenal sebagai
Hadis dan Sunnah Nabi. Oleh karena itu, sebagi umat manusia harus mengikuti
ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi karena dalam setiap perkataan, perbuatan
dan taqrir beliau merupakan perintah bagi kita sebagai umatnya. Allah berfirman
:
”Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. Al Najm (53) : 3-4)
Dalam surat ini, Allah menjelaskan
bahwa dalam setiap perkataan Nabi Muhammad itu adalah benar dan itu merupakan
apa yang Allah perintahkan kepadanya untuk disampaikan kepada umatnya dan itu
bukanlah hasil rekayasa Nabi. Oleh karena itu para sahabat menjadikan Nabi
Muhammad sebagai objek untuk mencari referensi tentang apa yang tidak mereka
ketahui baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Dan hal tersebut mereka jadikan
pedoman bagi kehidupan mereka dan kemudian mereka aplikasikan kedalam kehidupan
mereka masing-masing. Hal ini mereka laksanakan guna untuk mencapai tingkat
kesempurnaan dalam beragama. Untuk mencapai tujuan inilah Nabi dan para
sahabatnya sering mengadakan pertemuan di berbagi tempat, misalnya di Masjid,
dirumah Nabi, Pasar, ketika dalam perjalanan dan ketika nabi berada dirumah.[3]
Ditempat-tempat inilah Nabi dan para sahabatnya sering
berkumpul untuk mendengarkan hadis dari Nabi yang terkadang disampaikannya
melalui Musyafahah dan terkadang melalui Musyahadah.
b. Perbedaan Para Sahabat Dalam Menguasai Hadis
Semua sahabat umumnya menerima hadis dari Nabi SAW, akan
tetapi masih ada sedikit perbedaan dalam pengetahuannya. Ada yang
pengetahuannya lebih dan ada juga yang sedikit. Ini diakibatkan karena beberapa
hal yaitu ;
•
Perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul
•
Perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain.
•
Perbedaan mereka kerena perbedaannya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggail dari masjid Rasul SAW.
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang
banyak menerima hadis dari Rasul SAW dengan beberapa penyebab yaitu :
•
Yang mula-mula masuk Islam yang dinamai as sabiqunal awwalun, seperti khulafa
Empat dan Abdullah Ibnu Mas’ud
•
Yang selalu berada di samping Nabi dan bersungguh-sungguh manghafalnya, seperti
Abu Hurairah.
•
Yang lama hidupnya sesudah Nabi, dapat menerima hadis dari sesama sahabat,
seperti Anas ibn Malik dan Abdullah Ibnu Abas.
•
Yang erat hubungannya dengan Nabi, seperti Aisyah dan Ummu Salamah.[4]
c. Menghafal Dan Menulis Hadis
•
Menghafal Hadis
Para sahabat dalam menerima hadis dari nabi berpegang pada
kekuatan hafalannya. Ini juga dilaksanakan untuk menjaga kemurnian dan mencapai
kemaslahatan Al Qur’an dan Hadis sebagai dua sumber utama hukum Islam. Para
sahabat menerima wahyu dengan jalan hafalan bukan dengan tulisan karena sahabat
Rasul yang dapat menulis hanya sedikit. Para sahabat mendengar, melihat apa
yang dilakukan Nabi baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi mereka
pahami dengan penuh perhatian. Dan untuk menjaga kemurnian Al Qur’an Nabi
memerintahkan kepada sahabatnya untuk menulis Al Qur’an sedangkan hadis hanya
perlu dihafal. Ini juga untuk menjaga agar Al Qur’an tidak bercampur dengan
hadis seperti dalam Riwayat Muslim :
”Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain Al Qur’an, barang siapa yang
telah menulis dariku selain Al Qur’an, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa
yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku
dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya dineraka”.(HR Muslim).[5]
Oleh karena itu sahabat Nabi pada saat itu tidak pernah
menulis apa yang disampaikan Nabi selain Al Qur’an. Dan apa yang disampaikan
oleh Nabi diingat secara sungguh-sungguh oleh para sahabatnya. Ada dorongan
kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan
menghafal hadis ini. Pertama,karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa
Arab yang telah diwarisinya sejak Praislam dan mereka terkenal kuat hafalannya;
Kedua, Rasul SAW banyak memberkan spirit melalui doa-doanya; Ketiga, Seringkali
Ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan
menyebarkannya kepada orang lain.
•
Menulis Hadis
Semua penulis sejarah Rasul, ulama hadits barpendapat untuk
menetapkan bahwa Al-Qur’an mendapat perhatian penuh dari rasul dan dari
sahabat. Adanya hadis yang di atas tadi tidak menghalangi adanya para sahabat
yang menulis hadis dengan cara tidak resmi, akan tetapi dalam Riwayat HR
Bukhari tertulis bahwa : Ada seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah Ibn
Amr-’Ash memiliki catatan hadis nabi yang menurut pengakuanya dibenarkan oleh
Rasul SAW sehingga dinamakan dengan Al-Sahifah. Menurut suatu riwayat
diceritakan, orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdullah ibn Amr, karena
selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW, mereka barkata :”Engkau tuliskan
apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja
bicara dalam keadaan marah”. Kritik ini disampaikan kepada Rasul SAW, dan Rasul
menjawabnya dengan mengatakan :
”Tulislah! demi zat yang diriku
berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dari padanya kecuali yang benar”.
(HR Bukhari).[6]
Hadis ini dapat dijadikan dasar tentang penulisan hadis pada
massa Rasulullah SAW. Sebahagian ulama juga berpendapat bahwa larangan menulis
hadis hanya ditunjukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan
hadis dengan Al Qur’an. Izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak
dikhawatirkan akan mencampur adukan hadis dengan Al Qur’an. Intinya mereka
berpendapat bahwa tak ada pertentangan antara larangan dan keizinan, apabila
kita fahamkan, bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Al
Qur’an, dan izin itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis Sunnah untuk
dirinya sendiri. Hal ini juga dikuatkan oleh Riwayat Al Bukhari yang
meriwayatkan bahwa ketika nabi dalam keadaan sakit berat, beliau meminta
dituliskan pesan-pesannya untuk menjadi pegangan umat.
• Mempertemukan dua hadis yang
bertentangan
Dengan melihat dua kelompok hadis yang kadang-kadang
bertentangan, mengundang para ulama untuk mencarikan jalan keluanya. Ada
beberapa pendapat para ulama tentang penyelesaian dua hadis yang bertentangan
yaitu dengan cara menggugurkan salah satunya sehingga hanya menggunakan satu
hadis sebagai acuan seperti dengan jalan nasikh dan mansuk, dan ada juga para
ulama yang mencoba untuk menyadupadankan dua hadis tersebut menjadi satu
sehingga keduanya dapat digunakan (Ma’mul).
2. Hadis Pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan
hadis adalah masa sahabat, khususnya pada masa Khulafa’Al-Rasyidin (Abu Bakar,
Umar ibn Khatab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib) yang berlangsung
sekitar 11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar
karena perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran
Al Qur’an, sehingga periwayatan hadis belum begitu berkembang.
a. Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang akhir hidupnya
Rasulullah berpesan kepada para sahabat untuk menuliskan pesan-pesan beliau
yang kemudian bisa dijadikan sebagai acuan setelah Al Qur’an. Sebagaimana
beliau bersabda :
”Telah
aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang
kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (Al-Hadis)”.(HR.
Malik)[7]
dan
Nabi juga bersabda bahwa:
Pesan-pesan Rasul sangat berpengaruh
bagi kehidupan para sahabat oleh karena itu mereka selalu memberikan perhatian
penuh terhadap apa-apa pesan yang ditinggalkan Nabi dan itu semua mereka
aplikasikan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari baik itu berupa perkataan
perbuatan maupun taqrir dari Nabi. Dengan demikian pesan yang tinggalkan nabi dapat terpelihara
dengan dengan baik.
b.
Berhati-Hati Dalam Meriwayatkan Dan Menerima Hadis
Para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan Hadis
Rasul SAW. Karena khawatir terjerumus pada kesalahan dan karena takut ada
kesalahan masuk kedalam sunah.padahal sunah merupakan sumberhukum islam pertama
sesudah Al-Qur’an .dan kerena itu mereka selalu menempuh setiap jalu yang bisa
menjaga hadis tetap berjaya. Dalam meriwayatkan hadis para sahabat sngat
berhati-hati dan selalu membatasi diri karena lasan menghormatinya, bukankarena
enggan terhadapnya. Oleh karena itu, para sahabat khususnya khulafa al-rasyidin
(Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, Ibn
Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan hadis dan penerimaan
hadis. Hal ini dapat kita lihat dari sikap mereka dalam menerima dan
meriwayatkan hadis, seperti Umar ibn Alkhathab dikenal sangat membenci orang
yang memperbanyak meriwayatkan hadis.sahabat lain juga ada yang menempuh jalur
yang seperti itu. Mereka tidak akan meriwayatkan hadis kecuali dalam keadaan
yang sangat mendesak. Dan bila telah meriwayatkan hadis, mereka akan sangat
teliti dalam menempuhnya. Biasanya seusai meriwayatkan hadis. Mereka akan
mengatakan : ﻨﺤﻮﻫﺫ (seperti ini), ﺃﻮﻛﻣﺎﻗﺎﻞ (atau seperti yang disabdakan Rasul
SAW) atau kata-kata lain yang sejenis. Kemudian, para sahabat juga suka meminta
diajukan kesaksian ketika ada orang yang mau meriwyatkan hadis.
Perlu dijelaskan bahwa pada masa ini belum ada upaya secara
resmi untuk menghimpun hadis dalam satu kitab, seperti halnya Al Qur’an. Hal
ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhusuan mereka (umat
Islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang
banyak menerima hadis dari Rasul SAW sudah tersebar di berbagai daerah Islam
untuk melakukan pembinaan, sehingga untuk mengumpulkan para sahabat sangat
sulit selain itu sering terjadi perbedaan pendapat tentang lafaz dan makna
hadis serta kesahihannya.
c.
Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis yang
ditunjukan oleh para sahabat, dengan sikap kehati-hatiannya bukan berarti hadis
Rasul tidak diriwayatkan. Hadis-hadis tersebut tetap diriwayatkan, khususnya
hadis yang berkaian dengan kehidupan masyarakat sehari-hari seperti dalam
permasalahan ibadah dan muamalah. Ada dua jalan dalam meriwayatkan hadis dari
Rasul SAW yaitu dengan jalan periwayatan Lafzi (redaksinya persis seperti yang
disampaikan Rasul SAW) dan kedua dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya
saja).
• Periwayatan Lafzi
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa
periwayatan lafzi adalah periwayatan hadis yang redaksinya persis seperti apa
yang disampaikan Rasul dan ini hanya bisa diriwayatkan oleh para sahabat
apabila mereka hafal benar apa yang telah disabdakan Rasul.
Kebanyakan para sahabat menempuh periwayatan hadis dengan
jalan ini. Mereka berupaya agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi yang
telah disampaikan Rasul bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut ’Ajjaj
Al-Khathib, sebenarnya para shabat menginginkan agar periwayatan itu dengan
lafzi bukan dengan maknawi. Sebagian dari mereka secara ketat melarang
meriwayatkan hadis dengan maknanya saja, hingga satu huruf atau satu katapun
tidak boleh diganti.begitupula tidak bioleh mendahulukan susunan kata yang
disebut Rasul dibelakang atau sebalknya atau merinankan bacaan yang tadinya
tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umat Kahathab pernah berkata :
”Barang siapa yang mendengar hadis
dari Rasulullah SAW kemudian ia meriwayatkannya sesuai yang ia dengar,
orang itu selamat”.
[8]
•
Periwayatan Maknawi
Di antara para sahabat lainnya yang berpendapat, bahwa dalam
keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW
boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan Maknawi artinya
periwayatan yang redaksinya tidak persis sama dengan apa yang didengar dari
Rasul SAW, akan tetapi isi dan maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai
dengan apa yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.
Karateristik yang paling menonjol para era sahabat ini
adalah bahwa para sahabat neniliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah.
Mereka memeliharnya dalm lembaran-lembaran mushaf dan dalam hati mereka.
Kehati-hatian terhadap Al-Kitab ini juga diberlakukan sunnah meskipun disatu
sisi ada larangan dari Nabi SAW untuk menuliskannya. Meskipun demikian mereka
berupaya mempertahankan kemurnian kedua-duanya. Setelah Al-Qur’an sudah
terkumpul dalam satu Suhuf, mereka baru berani menuliskan hadis.
3. Hadis Pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan pada masa Tabi’in tidak berbeda
dengan periwayatan yang dilakukan oleh para sahabat sebagai guru mereka. Hanya
saja pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Para Tabi’an
belajar meriwayatkan hadis dari para sahabat yang pada saat itu menjadi pembina
dari wilayah-wilayah islam.
Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayah, wilayah
kekuasaan islam sampai meliputi mesir, Persia, Iraq, Afrika selatan, Samarkand
dan Spanyol, disamping Madinah, Makkah, Basrah< Syam dan Khurasan. Sejalan
dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para sahabat
kedaerah-daerah tersebut terus meningkatsehingga masa ini dikenal dengan masa
menyebarkan periwayatan hadis (instisyar al-riwayah ila al-amshar).
Dalam menyebarkan periwayatan hadis para sahabat dan Tabi’an
selalu memperhatikan segala hal yang dapat menghilangkan nilai-nilai kemurnin
hadis. Langkah-langkah mengagumkan yang dilakukan dari para Sahabat dan Tabi’in
yang dalam pendidikn modern dikenal sebagai dasar-dasar pendidikan yang
terpenting. Antara lain :
a.
Memperhatikan kondisi para penuntut hadis
Para sahabat dan Tabi’in sangat memperhatikan kondisi dari
para siswa. Mereka tidak akan memberikan suatu hadis , kecuali sesuai dengan
daya tangkap para siswa. Mereka memberkan penjelasan hadits dan keterangan
mengenai hubungan antara hadis, sehingga para siswa dapat menangkap hadis yang
mereka berikan.
b.
Menyampaikan hadis kepada yang pantas menerimanya.
Di samping memperhatikan kondisi para periwayat, sahabat dan
Tabi’in juga antusias memberikan hadis kepada ahlinya dan para penuntutnya,
tidak memberikannya kepada orang-orang dungu dan para pengumbar nafsu. Mereka
berusaha keras agar yang menghadiri majelis hanyalah para penunut ilmu. Dalam
hal ini, Az-Zuhriy berkata : ”Cacatnya (hadis) adalah bila ia tersebar di
kalangan mereka yang bukan ahlinya”. Al-’Amasy juga berpendapat bahwa
meriwayatkan hadis kepada yang bukan ahlinya adalah menyia-nyiakannya”. bahkan
sering beliau mengatakan : ”Janganlah kalian sebar mutiara di hadapan kuku-kuku
bagi, yakni hadis”. Maksudnya jangan kalian berikan hadis kepada yang bukan
ahlinya.
c.
Menuntut Hadis setelah Al Qur’an
Satu hal yang sangat jelas adalah bahwa kaum muslimin sangat
menginginkan kitabullah, menjaga, mengkaji, membaca, memahami
dan menafsirkannya. Para ahli hadis juga berpendapat bahwa tidak sepantasnya
seseorang mempelajari hadis, kecuali setelah belajar membaca Al Qur’an dan
menghafalnya, sebagian maupun keseluruhan. Kemudian ia baru diperkenankan mulai
mendengarkan hadis dan menulisnya dari para guru.
d.
Menghindari ahli munkar
Para sahabat dan tabi’in sangat mengkhawatirkan masuknya
hadis-hadis yang masih meragukan dan hadis-hadis dha’if. Mereka melarang
meriwayatkanya dan menghendaki kecermatan dalam melakukan periwayatan. Mereka
lebih menganjurkan meriwayatkan hadis-hadis Ma’ruf dan menyebarkannya
dikalangan penuntut ilmu, lebih-lebih para pendatang baru.
e.
Menghormati dan Mengagungkan hadis Rasul SAW
Para sahabat dan tabi’in selalu berpegang kepada sunnah
Rasul dan selalu mendahulukannya setelah Al Qur’an. Mereka tidak akan menerima
ra’yu bersama sunnah, meski bagaimanapun kualitasnya dan juga kualitas
pencetusnya. Di samping berpegang teguh kepada sunnah mereka juga memuliakan
majlis-majlis hadis dan menghormati para penghafal hadis. Baik para guru maupun
para murid beretika dengan hadits Rasul SAW.
KESIMPULAN
Hadis pada masa rasul diperoleh secara
langsung tanpa harus ada ketentuan protokol baik hijab maupun perantara orang
lain yang bisa menghalangi para sahabat bergaul dengan beliau, yang tidak
dibenarkan hanyalah jika mereka langsung masuk kerumah ketika nabi tidak ada
dirumah dan berbicara dengan para istri Nabi. Penyebaran hadis pada masa ini
dilakukan di berbagai tempat, seperti di rumah, di masjid, di pasar, di jalan,
di dalam safar, dan di dalam hadlar yang dilakukan secara bertahap baik
disampaikan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. pada masa rasul
umat islam sudah berjumlah sekitar seratus juta jiwa.
Hadis pada masa sahabat dan tabi’in hampir sama dengan masa
rasul hanya yang membedakannya adalah pada masa ini rasul telah wafat dan hanya
meninggalkan dua perkara yaitu sunah dan al hadits. Penyebaran hadis pada masa
ini dilakukan secara hati-hati guna untuk menjaga hadis agar tidak bercampur
dengan hadis palsu karena begitu benyak orang yang menginginkan kehancuran
islam. Banyak uapaya yang dilakukan para sahabat dan tabi’n diantaranya dalam
para sahabat dan tabi’in sangat berhati-hati dan cermat dalam meriwayatkan
hadis kemudian pada saat mereka menemukan situasi yang sangat mendesak mereka
berusaha menjaganya dengan bentuk tulisan. Penyebaran ini dilakukan di
tempat-tembat yang baik seperti pada tempat-tempat yang sering ditempati rasul
saat mengajarkan para sahabat. Penyampaian yang mereka lakukan dilaksanakan
berdasarkan konsep dasar-dasar pendidikan seperti : para sahabat selalu
memperhatikan kondisi dari para penuntut hadis, mereka
menyampaikan hadis kepada orang yang pantas menerimanya, menuntut hadis setelah
Al Quar’an al-karim, dalam menyampaikan mereka memberikan variasi untuk
menghindari kejenuhan dan mempelajari hadis secara berulang. Pada masa ini
sudah banyak wilayah kekuasaan islam sehingga para sahabat menjadi
terpisah-pisah karana merekalah orang yang akan melakukan penyampaian hadis
kepada para penuntut hadis dari berbagai wilayah. Banyak sahabat yang menerima
hadis dari rasul sehingga menimbulkan perselisihan dalam penafsiran dan
periwayatan hadis, meskipun arah dan tujuannya tetap sama.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta Munzier, Ilmu Hadis, Rajawali Pers,
Cet ke-1, Jakarta, 1993Ø
Muhammad
Teungku, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, PT Pustaka Rizki Putra, Edisi ke-2,
Cet-1,Semarang 1997Ø
Ahnan
Maftuh, Kisah kehidupan Nabi Muhammad SAW Rahmatan Lil Aalamiin, Terbit Terang,
Surabaya, 2001Ø
Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok
Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Cet-1, Jakarta, 1998.Ø
[1] Ibn Munzhur, Lisan Al-Arab, Juz II, (Mesir:
dar Al-Mishriyah, t.t), hlm. 436-439, Muhammad Al-Fayumi, Misbah Al-Munir Fi
Gharibi fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir li Al- Rafi’i, juz I, (Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah), 1978, hlm. 150-151.
[2]Goldziher adalah seorang orientalis kelahiran
Hongaria yang banyak meneliti dan mengkaji literatur-literatur Islam ini terutama
hadist.
[3] Dr. Musthafa AL-Siba’i,
Al-Sunnah wa Makanatuha fi Al- Tafsiri Al- islami, (Kairo: Dar AL-salam, 1998),
Cet.ke 1, hlm 64
[4]Muhammad jamal Al-Din Al- Qasimi,Qawa’id AL-Tahdist min funun Mustalah
Al-Hadist,(Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 1979), hlm. 72-74.
[5]Lihat dalam kitab Al-Zuhd wa AL-Raqa’iq (hadist nomor 5.326) dalam Imam
Muslim.
[8]Al-Ramaharmuzi, Al-Muhaddist Al-Fashil Baina Al-Rawi wa Al-Wa’i,(Beirut:
Dar Al-Fikr,1984),hlm. 127.
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar Anda Disini